Ganas

29 11 0
                                    

Semilir angin malam yang berhembus, menembus jerjak jendela dan menyapa sang siluet yang tergambar di balik gorden bewarna hijau. Saat ini Revan sedang berada di kamarnya, mengamati kertas yang ia pegang lalu mengenang sepersekian detik waktu yang dihabiskannya tadi untuk melihat rona wajah khas Sania.

Aneh. Satu kata yang ada di benaknya ketika ia melihat Sania. Masih banyak misteri yang belum terungkap dari gadis tersebut dan sukses membuatnya penasaran. Namun Revan bertekad akan membantunya melepaskan seribu satu misteri dalam hidupnya yang harus terkuak. Ia tak tahu kenapa saat pertama kali melihat gadis itu, ada detak rasa yang aneh di dalam lubuk hatinya.

Bait demi bait puisi yang ditulis oleh Sania masih berusaha Revan pahami. Meskipun ia tak ahli dalam hal sastra setidaknya ia memiliki sedikit pengetahuan mengenai sastra. Ada rasa aneh yang menjalar di tubuhnya hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Puisi yang ditulis oleh Sania terkesan horror, dan misterius.

"Gue gak tau kenapa tiap kali lo hadir dalam bayangan malam gue, ada yang tidak wajar. Seolah wajah lo mengisyaratkan sesuatu yang penting. Tapi sayangnya gue belum nemuin maksudnya. Semoga aja gue bisa mengenal lo lebih dalam, dan bisa nolong lo untuk keluar dari zona buruk lo San." Ujar Revan di tengah kesendirian malam.

                            ****
Pak Budi sudah berdiri di depan kelas dengan kumisnya yang tegang, dan rol yang ia pegang berada di samping kanannya. Pagi ini ia memasuki kelas Revan dengan muka kusut nan lecek bagaikan baju yang tak disetrika selama seminggu.

"Kalian semua yakin, sudah mengumpulkan tugas yang bapak suruh? Kalau bapak temukan ada satu kelompok yang tidak mengumpulkan tugas, kalian satu kelas akan bapak hukum. Hmm... Bagaimana?" Mata pak Budi melirik geng Revan dengan sinis. Pandangannya selalu saja tertuju pada Revan. Seorang siswa yang sangat malas untuk mengerjakan tugas dan suka tidur saat jam pelajaran.

Revan yang merasa dilirik dengan tajam, lantas merasa risih. Ia berkata dengan mantapnya, dengan suara yang nyaring tanpa ada rasa gentar seperti yang sebelumnya. "Kelompok saya udah kok pak. Silahkan aja bapak cek sendiri. Malahan bisa saya jamin puisi kelompok kami yang paling bagus. Saya aja mahaminya sampai merinding apalagi bapak, lari mungkin pak sangking dalamnya makna puisi kami."

Sontak satu kelas tertawa mendengar ujaran Revan. Ada yang tertawa terbahak-bahak dan ada juga yang tertawa tersipu malu. Pak Budi mengetukkan rol yang ia pegang ke atas meja dengan kuat dan membuat seisi kelas terdiam. Ia menatap mereka sebentar, lalu menyuruh Rio untuk membacakan puisi dari kelompok mereka.

"Lho pak kok jadi saya pak yang maju? Kan masih ada Revan, Arif, Dinda. Bapak kok milih saya? Mata saya tuh pak kalau disuruh baca puisi biasanya dia kabur pak. Kan gawat pak kalau mata saya kabur pak. Nanti gak bisa ngikutin pelajaran bapak lagi."

"Biarin kalau mata kamu nanti mau kabur, bapak punya tali. Jadi begitu kamu maju membacakan puisi ini dan takut matamu kabur, bapak tinggal mengikat tali ini ke matamu jadi matamu gak akan lari. Adil kan?"

"Duh... Jangan saya lah pak. Ha gini aja pak, biasanya tuh kan puisi berhubungan sama hal yang romantis. Jadi baca nya pun harus penuh pendalaman. Supaya enak, yang baca seharusnya yang pandai menggombal sama merayu pak. Yang lebih paham soal urusan keromantisan. Oleh karena itu, dengan segala hormat saya menyerahkan tugas saya pada Revan pak. Jadi biar Revan yang maju. Kan lumayan pak, daripada dia godain cewek terus sama kata-kata gombal gak jelas, mending sekalian aja dia baperin satu kelas sama puisi yang akan dibaca nya pak. Betul bukan Revan?"

Revan yang merasa tersindir untuk yang berulang kalinya, memelototi Rio. Kalau saja tidak ada orang di kelas ini, Revan akan langsung meletakkan kepala Rio di bawah tangannya, lalu menekan nya.

Miracle When SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang