Taman

65 16 7
                                    

Beberapa hari sudah berlalu semenjak Revan datang ke rumah Sania dan membantu bi Neneng masak.

Meskipun ia tidak bisa bertemu dengan Sania waktu itu tapi kali ini ia yakin bisa bertemu dengannya.

Ketika Revan hendak bersiap-siap ingin berangkat, pintu kamar Revan terbuka. Memang ia tadi tidak mengunci pintunya. Toh, sebentar lagi sudah mau berangkat.

Seorang anak perempuan kecil dengan rambut panjangnya yang lurus, bola mata yang berwarna
biru muda, tinggi yang juga ideal sesuai anak seumurannya, bahkan ditambah manis lagi dengan dress selututnya dengan warna biru muda ditemani polkadot putih di sekeliling dress mendekat ke arah Revan dan menarik segelintir baju bagian bawah Revan.

"Abang... Mau pergi ya?"

"Iya Nisa. Tau aja abang lagi mau pergi."

"Ikut."

"Hah, ikut? Jangan Nisa."

"Tapi Nisa mau ikutt!!!" rengeknya.

Revan berlutut di hadapan Nisa, melihat iris mata Nisa yang menunjukkan permohonan. Nisa sengaja memasang puppy eyes agar hati abangnya itu bisa luluh dan ia bisa ikut pergi.

"Abang, Nisa rindu ama kak Sania. Abang gak rindu?"
Ucapnya sambil memegang kedua tangan Revan.

Revan mengangguk mengisyaratkan dirinya juga setuju dengan Nisa.

"Nisa mau ketemu kak Sania gak?" Nisa menampilkan seulas senyum dan mengangguk antusias.

"Nisa mau main sama kak Sania?" Lagi, anggukan Nisa lebih semangat kali ini, bahkan senyumannya lebih lebar.

"Ke rumah kak Sania yuk."

"Ayuk. Yee... Ke rumah kak Sania!!! Ye ye ye.... Ye.." ujar Nisa kegirangan.

Nisa begitu senang ingin bertemu dengan Sania. Ia melompat kegirangan dan sesekali berteriak. Suaranya bahkan bisa terdengar sangat jelas dari kamar Revan.

Revan tersenyum melihat tingkah laku adik kesayangannya ini, ia menghentikan lompatan Nisa dan mengacak rambutnya.

"Udah sana siap-siap. Harus kelihatan cantik. Nanti kalau abang udah siap, abang ke kamar Nisa."

"Gak mau. Nisa udah cantik juga. Kan baru siap mandi. Berangkat sekarang yuk bang."

Nisa menarik tangan Revan agar cepat berangkat tetapi Revan tidak bergerak sama sekali dari tempatnya membuat Nisa sedikit kesal dengan abangnya ini.

Nisa menatap abangnya dengan tatapan horror. Heran abangnya tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya.

"Yakin gak mau siap-siap?"

"Iya abangg!!"

"Yakin?" pertanyaan Revan membuat bola mata Nisa berputar, capek menanggapi abangnya.

"Iyaaaa!!! Ayuk dong bang...."

"Yakin mau keluar tanpa alas kaki? Mau kaki ayam ke sananya?"

Nisa melihat kakinya yang bersih, tak terbalut apapun. Ia lupa untuk memakai alas kaki, karena begitu antusias ingin bertemu dengan Sania.

"Hehehe... Lupa bang. Ke kamar Nisa dulu ya, ngambil sandalnya."

"Iya sayang. Sini abang gendong."

Revan menggendong adiknya keluar dari kamarnya. Seusai menutup pintu kamar, mereka berdua berjalan ke kamar Nisa untuk mengambil sandal yang akan Nisa pakai nantinya.

Begitu sampai, Nisa melihat sepatu dan sandal miliknya yang tersusun rapi di rak sepatu. Ia  memilih kira-kira sandal mana yang akan cocok dengan dress yang ia kenakan.

Miracle When SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang