Defisit #1

68.4K 3.7K 58
                                    

1/1 Kesalahan yang Membuat Es Meluncur

Kuseka peluhku dengan kasar yang terus mengucur dari pelipisku karena berlari di bawah sinar raja siang yang menyengat. Arlojiku telah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Gila. Setengah jam lebih diriku terlambat. Bisa-bisa diktator menyebalkan itu menghukumku. Apalagi, kalau dia mengeluarkan SP 1 atau parahnya memotong setengah gaji.

Kutiup poniku untuk menenangkan sejenak hatiku yang gusar. Kutengok ke kanan dan ke kiri, sebelum masuk ke ruanganku. Biasanya bos menyebalkan itu suka muncul tiba-tiba. Untung aku tak melihatnya di sini. Perlahan-lahan aku memutar knop pintu.

"Ananda Lanav Ayudia, SE, Ak. yang terhormat dengan IPK 3,67 adalah seorang pegawai pemalas yang berada di divisi pemasaran," cela Miko yang sudah berdiri di belakangku. Sialan. Kenapa makhluk Tuhan paling menyebalkan itu ada di sini?

Aku terpaksa berbalik arah . Kulihat sosok itu tengah berdiri dengan raut wajah kesal. Tangannya dilipat di depan dadanya. Melihat wajahnya saja aku sudah muak. Apalagi, kalau harus bersiteru dengannya.

"Iya, Pak. Saya—"

"Lanav!" panggil seorang pria yang sangat aku kenal, meski tanpa aku menengok. Mendengar suaranya saja sudah membuatku bahagia. Apalagi, melihat sosoknya yang rupawan. Membuat duniaku terhenti seketika. Selalu muncul imajinasi tentangnya di otakku. Namun, aku bingung. Tak biasanya Bana akan menyapaku di kantor.

Bana langsung menarik tanganku tanpa memedulikan kehadiran Miko. Namun, Miko tak membiarkan kami pergi. Lelaki itu menghalangi langkah kami dengan tubuhnya. Wajahnya mengeras. Ia menatap Bana penuh tidak kesukaan.

"Anda sopan sekali, Tuan Albana Yaser yang terhormat." ejek Miko dengan tatapan remeh.

Bana menghela napas sejenak.

"Maaf, saya ada perlu dengan Lanav. Jadi, saya pinjam anak buah Anda sebentar," ungkap Bana dengan raut wajah datar. Ia memang begitu cuek. Tak peduli dengan omongan orang.

Bana tak peduli kalau Miko marah, ia tetap mengandeng tanganku ke ruangannya. Entah ada perlu apa sampai seorang Albana Yaser mau menemui pegawainya secara langsung. Walau faktanya aku adalah kekasihnya. Baginya aku adalah anak buahnya kalau di kantor. Namun, kalau di luar kantor aku malah merasa bukan kekasihnya. Kadang saja aku merasa keberadaanku tak dianggap olehnya.

Aku langsung duduk di sofa panjang marun begitu memasuki ruangan Bana. Selama aku bekerja di sini, baru kali ini aku memasuki ruangan kekasihku. Begitu maskulin. Ini benar-benar gayanya.

"Siapa yang menyuruhmu untuk duduk?" Bana menatapku serius. Ia mengambil berkasnya dan memberikannya kepadaku. Aku mengernyit heran.

"Ini? Maksudnya apa?" tanyaku seraya menerima berkas dari Bana.

"Harusnya aku yang bertanya. Kenapa berkasku malah berisi ungkapan hatimu yang tak bermutu itu," kesalnya.

Aku bingung. Ungkapan hati. Iya, aku lebih suka mengetik isi hatiku daripada menulisnya menjadi kronik. Kucoba mengingat-ingat. Memoriku pun terkumpul sepenuhnya. Aku tak sengaja menjatuhkan berkas-berkas Bana waktu itu. Mungkin saja tercampur dengan curhatanku karena aku tak memeriksanya waktu memungutinya dan memasukkannya kembali ke map.

Seksama kubaca isi map biru tua itu yang ternyata benar saja, isinya merupakan curahan hatiku. Di situ aku menuliskan betapa inginnya diriku untuk menikah. Namun, Bana tak kunjung melamarku membuat hatiku sangat resah.

"Maaf, Bana. Aku tak bermaksud melakukannya. Kamu jangan marah, ya." Aku menyatukan ke dua tangangku di depan dada. Memohon maaf darinya. Bana hanya diam saja. Raut wajahnya begitu datar. Tak mampu kutebak isi pikirannya. Dirinya selalu seperti itu, tak mau angkat bicara kalau aku salah.

Keheningan sesaat yang kurasa. Ruangan yang begitu luas ini semakin terasa luas karena nyatanya aku di hadapan Bana. Namun, jarak begitu terasa jauh.

"Bisakah kamu bicara yang lebih sopan pada atasanmu," balasnya lembut tetapi penuh penegasan di setiap kalimatnya.

"Maaf, Pak," jawabku setengah kesal. Selalu seperti ini. Aku kekasihnya, tetapi status membuatku semakin jauh darinya. Seolah-olah dia di kasta paling tinggi dan aku hanya manusia rendahan yang tak berarti.

Karir Bana begitu meroket, tak sepertiku yang terombang-ambing tak jelas. Jabatan Bana semakin hari, semakin tinggi. Dirinya memang tak hanya punya paras rupawan, tetapi kecerdasannya itu juga membuat karirnya cemerlang serta memiliki nilai tambah untuk memikat hati para wanita. Meski lelaki itu tak piawai merayu. Ia begitu cuek dan dingin.

"Nav, aku enggak mau tahu. Nanti malam kamu harus menyerahkan berkasku secara utuh. Pasti ada di apartemenmu," pintanya.

Aku hanya mengangguk. Malas untuk bersuara.

"Ya sudah. Sana keluar." Bana menunjuk pintu dengan kepalanya. Sungguh menyebalkan sekali kekasihku ini.

Keterangan:

SE, Ak. = Gelar untuk lulusan jurusan akuntansi yang sudah menepuh pendidikan di PPAK. Kalau sekarang kuliah S1 Akuntansi sudah dapat gelar otomatis Ak. Jadi, lulusan angkatan saya pakai Ak. Pendidikan di PPAK nanti buat persiapan tes buat gelar CA, dll.

Tbc...

Slow up authornya lagi sibuk. Saya selama 1 Minggu pergi. Terima kasih.

Xoxo,

Elina

22 April 2018

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang