Defisit #8

26.5K 2.5K 42
                                    


Kalau ada typo atau kata tidak baku kasih tahu ya

Pekerjaanku semakin hari semakin banyak, rasanya aku ingin mengundurkan diri dan menikah saja. Mengurus suami dan anak-anak, tapi naasnya tak ada satupun pria yang mau meminangku. Siapa yang mau menikahi gadis biasa saja sepertiku di saat umurku hendak mencapai kepala tiga. Pria di luar sana, pasti akan memilih pasangan yang jauh lebih muda dariku. Apalagi, kalangan burjois. Tak akan ada yang melirik perempuan sederhana kalau ada hanya akan dijadikan simpanan atau mainan sesaat.

Andai saja, aku tak menghabiskan masa mudaku untuk menunggu kepastian Bana, mungkin saja aku sudah menjadi seorang istri dan mempunyai anak-anak kecil yang mengemaskan. Sayangnya, itu hanya angan saja.
Kutata anak rambutku agar tak menjuntai bebas menutupi mataku, agar pekerjaanku memindah laporan ke excel cepat selesai. Mataku sudah lelah mengamati layar yang menyilaukan. Ingin segera sampai di apartemen makan, mandi, lalu merebahkan ke ranjangku.

Aku terduduk seraya memandang lesu berkasku yang menumpuk di atas meja. Ternyata, pekerjaanku banyak pula. Untungnya aku sudah menyelesaikannya.

"Nav," panggil Mykaila seraya menyodorkan secangkir kopi hangat. Aku menerimanya dan meneguknya perlahan sehingga tenggorokan yang kering menjadi segar kembali.

"Terima kasih," kataku seraya menaruh cangkir itu di mejaku.

"Aku pamit dulu, ya. Tunanganku sudah menjemput," ujarnya seraya menepuk bahuku.

Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Beruntung sekali dirinya yang selalu mendapatkan perhatian tunangannya, meski sibuk sekali. Aku langsung menggelengkan kepalaku, segera membuyarkan lamunan tak bermutuku agar tak memikirkan hal yang fana.

Jariku bergerak dengan gesitnya agar kerjaanku cepat selesai. Terbukti sepuluh menit kemudian aku menyelesaikan proses pemindahan data manual itu, lalu aku segera mematikan komputerku. Kutata mejaku dengan rapi sebelum meninggalkan kubikelku.
Kaki jenjangku melangkah dengan santai meningalkan ruanganku. Kubuka pintu, lalu menutupnya dengan tatapan penuh semangat. Begitu berbalik arah, mataku tak sengaja menangkap seorang perempuan tengah bergelanyut manja di lengan Bana tengah berjalan menuju lift. Kukerjapkan mataku berulang, tetapi ternyata netraku masih sehat. Itu benar-benar Bana.

Pikiranku melayang bebas dan batinku bertanya-tanya. Kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hendak melangkah ke arah mereka, tetapi sosok Miko muncul tiba-tiba dari koridor selatan sehingga membuatku terkejut dan mengenyahkan rasa penasaranku untuk mengikuti Bana.

"Malam, Pak," sapaku seramah mungkin.

Miko hanya brdeham, lalu melirik arlojinya.

"Kau belum pulang?" tanyanya seraya mengerutkan dahinya.
Aku menggeleng.

"Belum, Pak. Baru saja mengentri data. Bapak sendiri lembur?" Aku masih memasang wajah ramah, walau sebenarnya malas berbasa-basi kepada Miko.

"Iya, sudah makan, Nav?' tanyanya dengan nada rendah, tak seperti biasanya kalau bertemu denganku selalu marah-marah tak jelas.

"Belum, Pak."

"Aku traktir makan malam. Hitung-hitung berbuat baik sekali-kali kepadamu," ajaknya asal. Aku yakin kebaikan Jatmiko Prayoga kali ini bukan karena dia memang mau berbuat baik, tetapi karena dia gengsi makan sendirian. Suruh siapa melajang terus. Pria muda tampan dan mapan memang seperti itu, tak suka terikat karena akan menghambat karirnya. Atau mungkin, ia tak memiliki pasangan karena sikapnya yang menyebalkan itu. Padahal Miko ini memiliki mata teduh, meski dia selalu memicingkan matanya kalau marah dengan bulu mata lentik. Ada celah kecil saat dirinya berbicara apalagi tersenyum di pipinya, yah lesung pipit yang manis. Hidungnya runcing, bibir lumayan tebal. Kulitnya tan begitu terlihat seksi seperti aktor atau model dari Amerika Latin. Sungguh incaran para wanita dari kalangan bawah hingga sosialita.

"Nav," panggilnya penuh penekanan, suaranya langsung membuyarkan pikiranku.

"Emh, iya Pak?"

"Mau kutraktir tidak?" Miko menatapku lurus.

Aku hanya mengangguk, lumayan makan malam gratis. Syukur-syukur tumpangan gratis pula.

Miko menggulurkan tangan kanannya yang membuatku keheranan. Tatapanku tampak kebingungan dengan dahi mengkerut menatap tangannya. Miko langsung meraih tanganku, lalu mengenggam jemariku yang tampak pas menaut dengan jemarinya. Kurasakan kulitnya begitu hangat. Memberikan rasa nyaman, tetapi tetap saja membuatku canggung digandeng seperti itu, padahal sebelumnya kami sering berdebat. Lebih tepatnya, dia mencaciku. Namun hari ini, dia mengengam tanganku. Tangan yang biasa digenggam Bana.

Sepanjang jalan aku hanya terdiam dengan langkah santai, meski hatiku bergejolak was-was.

***

Restoran bergaya mediterania menjadi pilihan Miko untuk tempat bersantap hidangan makan malam kami. Nuansa khas konglomerat begitu kental dengan lampu kristal yang menerangi ruangan. Suara gesekan biola menenangkan pikiran, membuat larut ke dalam kenyamanan yang sulit diungkapkan melaui kata-kata.
Pelanggan yang datang sudah dipastikan kalangan sosialita dan borjouis. Mana mungkin orang biasa merelakan uangnya habis hanya untuk membayar makanan mewah di sini. Kulihat kebanyakan yang datang adalah pria paruh baya bersama wanita cantik di sisinya.

"Nav, dimakan. Keburu dingin," kata Miko seraya menunjuk piringku.

Aku tersenyum, "Iya, Pak."

"Tidak usah formal. Sudah di luar kantor," balasnya santai seraya menggulung kemejanya.
Aku tersenyum kikuk.

"Tidak sopan, Pak. Kalau saya panggil nama saja," terangku dengan nada selembut mungkin.
Miko menatapku dengan tatapan sulit diartikan, lalu tersenyum hingga menampakkan lesung pipitnya yang membuatnya tampak memesona,
"Santai saja. Sejak kapan kau mengenal kata sopan?" tanyanya seraya menuang jusnya ke dalam gelas.

Aku hanya diam, tak meanggapinya. Walau aku tak menyukai perilakunya, sebaik mungkin aku harus menghormatinya karena dia atasanku dan aku pegawainya. Tak mungkin seperti dulu, aku bisa menumpahkan rasa kesalku padanya, jika aku marah dan kehilangan kesabaranku.

"Emh, sepertinya aku salah membawamu kemari," ucapnya seraya melirik ke sisi lain dari tempat kami duduk. Aku hanya mengernyit seraya menyelipkan anak rambutku ke daun telingaku.

"Tempat seperti ini harusnya didatangi dengan pasangan. Kalau ada orang yang melihatku kemari bersamamu, bisa turun pasaranku kalau mereka berpikir kita berkencan," lanjutnya dengan nada datar.
Untung aku tidak sedang makan atau minum, bisa saja diriku tersedak.

"Miko kau—" Ucapanku terputus, aku tekan kekesalanku agar tak menimpali ucapannya dengan cemoohanku balik.

"Apa, Nav?" Kalimat itu begitu gampang lolosnya dari bibir Miko tanpa kesal karena aku menyebut namanya baru saja dan hampir meluap.

"Maaf, Pak. Maafkan saya lancang," ucapku dengan nada lirih.

Miko terkekeh.

"Santai, Nav. Jangan terlalu bawa serius. Aku memang sengaja menggodamu," jelasnya santai.

Tbc...

Yuk yang mau beli pdf. Sale 1 judul Rp 10.000, tidak berlaku untuk Defisit (Defisit Rp 25.000). 10 Judul Rp 50.000 kalau mau semua Rp 60.000

Judul PDF:

1. Random Wife
2. Ugly Ceo
3. Romantic Drama
4. Romantic Hospital
5. Wanted! Ugly Wife
6. Annoying Couple
7. Aku Bukan Simpanan
8. He Called Me Buluk
9. Random Husband
10. Am I Pregnant?
11. Defisit

Pembayaran via bank bri atau shopeepay atau pulsa atau ovo

Hubungi wa 085865080449

Pembayaran terakhir besok jam 4 sore.

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang