Defisit # 9

379 61 2
                                    

Defisit sudah ada di google play book, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Defisit sudah ada di google play book, ya. Atau kalian bisa beli pdfnya harga Rp 25.000. Hubungi wa 085865080449

"Miko kau—“ Ucapanku terputus, aku tekan kekesalanku agar tak menimpali ucapannya dengan cemoohanku balik.

“Apa, Nav?” Kalimat itu begitu gampang lolosnya dari bibir Miko tanpa kesal karena aku menyebut namanya baru saja dan hampir meluap.

“Maaf, Pak. Maafkan saya lancang,” ucapku dengan nada lirih.

Miko terkekeh.

“Santai, Nav. Jangan terlalu dibawa serius. Aku memang sengaja menggodamu,” jelasnya santai.

Aku hanya tersenyum saja.

Keheningan terasa sesaat.
Tiba-tiba saja Miko berujar, “Cantik.”

Aku mengkerutkan dahiku, lalu menoleh ke arah pandangan Jatmiko. Kulihat seorang perempuan tengah berdiri di depan pintu dengan gaun bewarna kelabu. Surainya terjuntai bebas tersapu angin. Manik mata itu begitu kecokelatan tampak cerah begitu terlihat memikat. Senyumannya sungguh menggoda. Kuakui dia cantik. Namun rasanya, kupernah melihatnya.

Tak lama kemudian, sosok yang membuatku kesal beberapa hari ini muncul. Siapa lagi kalau bukan Bana. Lelaki kini menggandeng tangan perempuan bergaun kelabu itu. Pantas saja aku pernah melihatnya. Tadi, aku hanya sekilas melihat wajah wanita itu. Sekarang, aku melihatnya dengan jelas. Entah kenapa kekesalanku semakin menjadi. Seharusnya aku sadar diri kalau lelaki seperti Bana tak mungkin bersanding dengan pegawai rendahan sepertiku.

Manik mataku tak sengaja brtemu dengan netra Bana, lalu lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Miko, sebelum kembali menatapku lagi. Sepertinya, ia tampak tak suka. Apa ini hanya perasaanku saja yang belum bisa ikhlas melepas Bana dari sisiku. Belasan tahun aku mencintainya dan menjadi kekasihnya. Kini, aku bukan siapa-siapanya. Tentu saja menyakitkan.

“Nirina itu cantik, ya. Namun sayangnya, dia adik dari Pisang Beku,” celetuk Jatmiko yang membuyarkan lamunanku, lalu aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah Miko.

“Maksudnya, Pak,” tanyaku penasaran.

“Nirina itu perempuan yang digandeng Bana barusan. Dia adiknya Bana. Entah kandung apa tiri, aku lupa,” sahutnya seraya mengingat-ingat.
Aku menatap Jatmiko cengo. Adik? Bana punya adik, benarkah? Selama ini, aku tak tahu kalau Bana punya adik. Jika hal itu benar, ada kelegaan di hatiku. Berarti, aku tak dikhianati karena orang ketiga. Kandasnya hubungan kami memang karena sudah tak cocok. Walau sebenarnya aku yakin kami sama-sama masih mencintai.

Selama ini, Bana tertutup tentang keluarganya. Makanya, aku tak tau secara pasti dia punya adik atau kakak. Aku hanya pernah bertemu beberapa kali dengan mamanya dan aku bisa menyimpulkan, kalau Bana dan mamanya tak memiliki hubungan yang baik. Bahkan, Bana sendiri sering menggerutu tentang mamanya dan menyebutnya penyihir. Tidak sopan sekali, bukan? Aku tak mengerti apa masalahnya dengan mamanya dan ada apa dengan keluarganya, karena Bana selalu menutupi masalahnya dan mengalihkan pembicaraan tentang keluarganya.

“Oh, iya. Aku ingat sekarang, dia adik kandung Bana. Lihat saja, mereka memiliki bentuk hidung yang sama dan manik mata yang hampir sama. Pasti, ibunya sangat cantik,” tutur Jatmiko seraya mengaduk-aduk minumannya, lalu ia berujar kembali, “namun, tetap saja dibuang. Kasihan.”

“Dibuang?” ucapku.

“Entahlah. Yang jelas ayahnya Bana itu sudah beberapa kali menikah.”

Aku menutup mulutku seraya menggelengkan kepala. Tak kusangka keluarga Bana seperti itu, tak harmonis. Kukira Bana itu seorang anak yang kurang kasih sayang orang tua karena sibuk bekerja.

“Mungkin itu yang menyebabkan Bana jadi gay.”

“Kok gay sih,” kataku tak terima. Enak saja seenaknya sendiri Miko mengatakan Bana itu gay. Aku tahu dia tak menyukai Bana, tapi ya tidak begitu juga.

“Situ kok sewot,” ujar Miko dengan tatapan penuh selidik, “jangan bilang kau penggemar Bana juga. Kalau dia tidak gay, pasti sudah menikah. Buktinya, tidak ada wanita yang mencairkan hatinya. Apalagi dengar-dengar, dia punya hubungan khusus dengan relasinya yang bekerjasama mendirikan galeri sepatu.” Lanjut Miko dengan nada ketus.
Aku memikirkan kembali ucapan Miko. Namun, malah jadi geli sendiri kalau Bana memang gay. Mana mungkin kalau Bana itu gay. Aku tinggal bersamanya secara tak langsung beberapa waktu ini. Aku tahu isi ponsel hingga isi dompetnya. Tak ada obrolan menyimpang di ponselnya dengan relasi bisnisnya. Galeri ponselnya penuh fotoku dengan berbagai ekspresi, terlebih lagi aku suka memotret diri menggunakan ponselnya, sedangkan foto dirinya hanya sedikit. Isi dompetnya ada fotoku tengah tersenyum, tetapi ternyata di balik foto itu masih ada foto lagi. Fotoku bersamanya.

“Nav, kau malah melamun. Tak percaya, ya. Jadi, benar kau penggemar Bana. Kenapa banyak perempuan menggilai pria itu? Lebih tampan diriku juga,” kata Miko mantap.

Aku hanya tersenyum simpul. Bagiku, tetap Bana yang paling tampan. Kenyataannya, Bana juga lebih tampan dari Miko. Namun, sayangnya ceritaku dengannya telah berakhir.

“Maaf ya, Pak. Menurut saya, Pak Bana lebih tampan daripada Bapak.”

“Dia menang putih doang.”

“Iya, percaya. Bapak lebih tampan, makanya enggak nikah-nikah juga. Terus nuduh orang gay,” cibirku.

“Aku tak menikah karena orang yang kucintai sudah memiliki kekasih. Kalau menikung itu salah kan. Maka, aku menunggunya putus dengan kekasihnya dan yang kudengar dia sudah putus dengan kekasihnya. Jadi, kali ini aku akan bergerak cepat agar bisa mendapatkan cintanya,” terangnya santai.

Aku hanya mengangguk saja. Sebenarnya aku penasaran siapa wanita yang disukainya., tapi kurasa kurang pantas menanyakan siapa itu.

Tbc...

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang