Defisit #16

21.2K 1.8K 149
                                    








Aku sedari tadi termenung, tak bicara apa-apa sepanjang rapat. Kepala staf terus mengomel-omel tak jelas karena perusahaan tetangga meluncurkan brand terbaru dengan harga murah. Mereka menekan harga serendah mungkin untuk menguasai pasar. Masalah kualitas tentu standar tas buatan mereka berada di bawah perusahaan ini. Hanya bentuk dan tampilannya yang menarik.

Daya beli masyarakat akhir-akhir ini menurun. Belum lagi, nilai dollar sempat di angka 14.200 rupiah. Tentu saja kebutuhan pokok lebih diutamakan, dibandingkan gaya busana berkelas. Walau sebenarnya hal itu juga tak begitu mempengaruhi gaya hidup kalangan borjuis. Hal ini menyebabkan penjualan minggu ini menurun. Makanya, kepala staf kami terus bicara panjang lebar untuk mengubah strategi promosi agar produk kami tetap laku di pasaran.

"Nav," panggil Mykaila dengan nada lembut seraya menepuk bahuku. Kontan aku menoleh ke arahnya dengan dahi mengernyit.
"Nonton, yuk," ajaknya seraya menunjukkan tiket bioskop di genggamannya.

Aku mengangkat alis kiriku, lalu menengok ke kanan dan ke kiri. Ternyata karyawan lain sudah pulang.

"Kamu baru sadar ya kalau tinggal kita berdua di sini?"

Aku mengangguk seraya menyelipkan anak rambutku yang menjuntai ke sela-sela daun telingaku.

"Emhhh, itu tiket film apa?" tanyaku dengan nada rendah.

"Ada deh. Ini pokoknya film bagus. Ayolah, Nav. Temani aku menonton film," bujuk Mykaila dengan mengedipkan matanya.

Aku berpikir sejenak. Diriku takut bangun kesiangan kalau malam ini menonton film, walau besok tanggal merah. Pasalnya, aku sudah janjian dengan Bana untuk ke butik. Rencananya kami akan mencari baju untuk foto pre-wedding.

"Hai, Nav. Kamu melamun lagi?" Mykaila melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Maaf, aku—"

"Nav, sekali ini saja. Kapan lagi kita bisa nonton film bersama. Kita teman, kan?"

Mykaila memasang raut wajah sendu. Aku menjadi tak enak dengannya, akhirnya aku mengangguk setuju.

***
Aku duduk sambil mengirimkan pesan kepada Bana, kalau aku sedang menonton film di bioskop dengan Mykaila. Siapa tahu dirinya mencariku. Kemudian, kumatikan ponselku. Kini, kualihkan pandanganku ke arah layar yang tengah menampilkan trailer film. Namun Mykaila yang pamit ke toilet, tak kunjung kembali. Padahal sebentar lagi film ditayangkan.

"Mau popcorn?"
Manik mataku membulat seketika, tatkala sebuah tangan yang tak asing terulur di hadapanku untuk menwarkan popcorn. Aku mendongak untuk menatapnya, tak mengindahkan tawarannya. Miko—sosok itu malah tersenyum begitu manis.

"Tak usah menatapku seperti itu. Kau terlihat mengemaskan sekali. Jadi, ingin mencubit pipimu," katanya dengan nada lirih.

Miko meletakkan popcorn yang ia bawa ke bangku di sebelahnya yang tidak ditempati orang, setelah berkata. Malah ada teh poci dan minuman lain di bangku itu. Satu ruangan ini pun tak begitu ramai dipenuhi penonton, banyak bangku kosong. Mungkin karena jam tayang film.

"Maaf, Pak. Itu tempat duduknya Mykaila," kataku basa-basi karena bingung mau berbicara apa.

"Aku tahu. Tempat dudukku memang seharusnya ada di sebelah bangku ini. Tak masalah kan kalau aku duduk di sini? Toh, Mykaila sudah pulang," terangnya santai.

Aku tertegun sejenak.

"Mykaila—"

"Sudah, sudah. Aku kasih tahu nanti. Sekarang tonton filmnya saja," lrihnya seraya memutar kepalaku perlahan agar menatap film.

Aku menatap layar tak antusias. Diriku tak habis pikir dengan perilaku Mykaila. Mimpi apa diriku semalam.

Tak lama kemudian, banyak penonton yang tertawa. Mereka benar-benar menikmati film romansa komedi ini. Berbeda denganku yang tak bersemangat. Kutengok ke arah Miko, dia tampak tenang dan terus mengunyah popcorn-nya.

"Kau tak suka filmnya?" tanya Miko dengan nada lirih.

"Memang apa bagusnya film ini," sahutku asal. Tanpa menoleh ke arahnya.

"Entahlah, tapi katanya film ini banyak menguras air mata. Tonton saja sampai selesai."

Aku hanya mengangguk. Sejak tadi yang kutonton hanya tingkah konyol si pria saja yang membuat tertawa. Tak ada hal yang membuat sedih. Aku saja masih bingung dengan film ini yang berjudul, "One".

***

Satu jam berlalu, tak terasa film yang kutonton telah usai. Air mataku menitik begitu saja. Ternyata benar film ini berakhir sedih. Sang pria mungkin bisa dikatakan aneh dengan segala perilakunya, tetapi ia lakukan itu agar bisa berdekatan dengan si gadis. Namun, pada akhirnya semuanya sia-sia. Dirinya meninggal karena tabrak lari saat mengejar wanita itu. Perempuan yang ternyata tak pernah mencintainya. Hanya menganggapnya sebagai bayangan mantan kekasih wanita itu dan akhirnya sang wanita pergi untuk mengejar mantan kekasihnya.

"Ini," ujar Miko seraya menyodorkan sapu tangannya. Aku menerimanya, lalu kuusap air matku dengan perlahan.

"Akhirnya sedih ya, Nav," kata Miko kembali dengan nada sendu.
Aku mengangguk, lalu mengembalikan sapu tangannya.

"Tidak kusangka akhirnya seperti itu. Padahal mereka terlihat serasi," jawabku.

"Iya, untung itu cuma film."  Miko mengulurkan tangannya ke arahku. Membuatku mengerutkan dahi.
"Kau mau pulang apa tidak? Ayo, berdiri," ajak Miko seraya meraih tanganku. Kontan aku berdiri, lalu melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.

Aku hanya terdiam sepanjang berjalan dengannya. Bingung, mau bicara apa?

"Nav, mau makan malam," tawar Miko yang membuat langkah kaki kami terhenti.

Aku menggeleng. Meski sebenarnya lapar. Ini sudah malam dan aku pun mulai mengantuk. Diriku juga tak enak kalau makan malam bersamanya.

"Bana," lirih Miko dengan menatap ke arah selatan. Membuatku menoleh. Kulihat sosok Bana tengah berdiri memandang ke arah kami. Manik matanya tampak sayu. Sudah dipastikan ia kemari untuk menjemputku.

Aku langsung tersadar dengan arah tatapan Bana yang terus memandang tanganku yang saling menaut dengan jemari Miko. Kontan ingin kulepaskan genggaman tangan Miko, tetapi lelaki itu tak membiarkannya. Ia malah smakin merekatkannya. Diriku was-was. Takut kalau Bana salah paham.
Miko melangkahkan kakinya ke arah Bana yang membuatku mau tak mau ikut melangkah bersamanya.

"Selamat malam, Tuan Albana Yaser," sapa Miko dengan santai.
Bana tersenyum masam.

"Malam," jawabnya dingin.

"Anda mau nonton film atau sudah nonton film? Sendirian?" tanya Miko penasaran.

"Aku kemari karena mengkhwatirkan keadaan seseorang. Ponselnya dinonaktifkan, makanya aku kemari untuk memastikan dia baik-baik saja. Sekalian menjemputnya." Bana menjawab seraya menatapku.

"Menjemput siapa? Kekasih?"

"Bukan urusan Anda, Manajer Jatmiko Prayoga. Itu ranah privasi. Saya juga tak akan bertanya yang menyingung privasi Anda. Menurut saya itu tak sopan," balas Bana dengan bahasa fomal penuh penekanan di kalimat terakhirnya.
Miko malah tersenyum simpul.

"Ya sudah. Kami duluan," pamit Miko dengan nada rendah.

Aku pun berjalan meninggalkan Bana dengan menunduk. Sebenarnya, aku ingin berlari ke arahnya. Memeluknya dan mengatakan kalau apa yang ia lihat tak seperti yang ada dalam pikirannya. Namun, apa dayaku. Tak mungkin aku melakukan hal itu karena Miko pasti akan curiga, atau parahnya dia akan tahu hubungan kami yang sebenarnya.

Tbc..

Tanya friend, kalau kalian jadi Nanav.  Lebih baik  cari cowok lain selain Bana apa tetap stay?
Silakan beropini.

Btw, rekomendasi  film mandarin atau yang serumpun, Korea, Jepang,  Thailand. Novel2 yang kubeli belum pada datang, jadi gak punya stok bacaan 😂😂 Pengen nonton film. Film bukan drama.

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang