Defisit #15

23.5K 2.1K 68
                                    
















Aku memejamkan mataku sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bana.

"Bana, aku-"
Suaraku terhenti seketika, ketika suara bel berdering.
Bana hendak berdiri untuk membuka pintu, tapi aku mencegahnya. Kucengkeram lengannya.

"Kamu di sini saja. Habiskan dulu supnya, biar aku yang buka pintunya," kataku dengan nada lirih. Kemudian, melepaskan tanganku dari lengannya seraya berdiri. Sementara, Bana hanya mengangguk, lalu kembali ke posisinya semula.

Aku melangkah dengan perasaan yang berkecamuk. Terasa jauh menuju pintu rasanya. Entah kenapa jantungku berdebar-debar tak keruan.

Sesampainya di depan pintu, aku membukanya dengan perlahan. Kemudian, terlihatlah sosok wanita tua dengan rambut pendek kecokelatan sebahu. Ia membawa kotak yang entah apa isinya--yang digenggamnya di depan dada.

Wanita itu menatapku dengan saksama dari bawah sampai atas. Terlihat tengah menilaiku. Aku yang diperlakukan seperti itu merasa risih.

"Maaf, Ibu ini siapa, ya?" tanyaku selembut mungkin.
Sontak wanita yang ada di hadapanku ini mengerjap-kerjapkan kelopak matanya, lalu tersenyum sekilas yang terlihat dipaksakan.

"Sepertinya saya salah alamat. Saya mau ke apartemen anak saya," jelasnya dengan nada kikuk.

"Memangnya nama anak Ibu siapa, ya?"

"Bana, Albana Yaser. Anak saya tinggal di salah satu unit gedung apartemen ini," terangnya dengan nada datar.

Bibirku terbungkam seketika. Kuperhatikan dengan saksama paras ayu di hadapanku yang sudah mulai mengeriput. Ada kemiripan dengan Bana.

"Jadi, Ibu ini adalah ibu kandungnya Bana?" tanyaku memastikan.

"Iya. Jadi, ini benar apartemennya Bana?" tanyanya balik.

Aku hanya mengangguk. Entah kenapa ada firasat buruk di hatiku. Sepertinya, Ibunya Bana bukan tipikal orang yang ramah. Aku menjadi takut sendiri.

"Kamu siapa? Kenapa jam segini bisa ada di apartemen anak saya?" tanyanya dengan nada ketus seraya menatapku dengan tatapan sinis.

Aku hanya meremas gaun tidurku dengan menunduk. Harus menjawab apa diriku? Sepertinya pilihanku untuk membuka pintu adalah hal yang salah. Apalagi, aku belum mandi. Masih menggunakan gaun tidur semalam dan rambutku dijepit asal-asalan. Kukira ada kurir atau siapa yang datang. Tak berpikir teman atau keluarga Bana akan datang kemari.

"Jangan bilang kalau kamu-"

"Lanav calon istriku dan tolong jangan bicara yang aneh-aneh," celetuk Bana yang sudah berdiri tak jauh dari kami.

"Ohh. Apa kalian tinggal bersama?" Ibunya Bana menatap Bana dengan tatapan kecewa.

"Bukan urusan Ibu. Lebih baik Ibu pulang saja. Jangan ganggu kehidupanku karena hidupku sudah bahagia, tanpa Ibu. Justru, kalau ada Ibu aku hanya akan menderita," jawab Bana tanpa menatap ke arah ibunya sepertinya ucapannya barusan tak sungguh-sungguh, kalau dirinya bahagia tanpa ibunya.

"Sampai kapan kamu seperti ini? Keras kepala dan arogan. Ibumu kemari ingin memberikan kue ulangtahun. Kamu dulu bilang suka kue buatan Ibu," balas Ibu Bana seraya berjalan ke arah putranya dengan raut wajah sendu.

"Iya, dulu. Ketika aku masih kecil, bukan sekarang. Aku bukan anak usia enam tahun lagi. Jangan pedulikan aku, karena aku tak butuh kasih sayang atau perhatian Ibu lagi."

"Bana...."

"Ibu! Ibu tidak ingat? Dulu, Ibu menolakku untuk ikut bersama Ibu? Bahkan Ibu tidak pernah mengunjungiku untuk memastikan keadaanku. Itu sudah membuktikan Ibu tak peduli dan tak menyayangiku. Untuk apa sekarang datang dan seolah-olah peduli?"

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang