Defisit #2

38.8K 3.2K 49
                                    

1/2

Lagi-lagi aku harus berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk ini. Tugasku semakin banyak karena hukuman dari Miko. Dirinya menyuruhku untuk merekap semua data dan membandingkan data penjualan sekarang dengan kemarin. Penjualan menurun tiga persen dari kemarin, pantas Miko marah-marah kepada kami. Katanya kami pemalas dan suka seenaknya sendiri sehingga target merosot.

Kepalaku terasa pusing memikirkan berbagai hal hari ini. Ingin rasanya merebahkan diri di atas kasur kesayanganku. Namun, kutahu itu hanya angan yang tak akan terwujud. Kulirik Mykaila rekanku yang tengah bersiap menemui klien. Betapa cantik dan menariknnya dia. Cocok sekali kalau dimasukan di divisi pemasaran. Tak seperti diriku yang terlalu biasa saja. Tak ada istemewanya. Kapan aku bisa seperti wanita lainnyaa. Bersolek dan merawat diri dengan baik.

Hasil kerja kerasku tak seberapa kalau harus perawatan dan membeli baju ber-merk. Aku saja tinggal di apartemen sepupuku yang kini pindah kerja ke luar negeri. Jadi, aku menempatinya. Belum lagi masa sewanya akan segera habis. Uangku kugunakan untuk membayar hutang mendiang ayahku yang dulu menggunakannya untuk menyekolahkanku. Miris, bukan?

"Nav," sapa Mykaila seraya menepuk bahuku pelan.

"Iya," kataku sedikit kaget karena melamun.

"Nav, nanti malam jalan yuk," ajaknya dengan raut wajah sumringah.

Sebenarnya aku mau saja. Namun, aku teringat nanti malam aku harus memberikan berkas milik kekasihku.

"Maaf, aku tidak bisa. Ada acara," lirihku.

"Kamu mau kencan? Ini kan malam minggu," selidiknya.
Aku menghela napas sejenak. Kencan. Hal itu hanya untuk mereka yang punya kekasih yang pengertian dan tak sibuk. Albana Yasser itu tak mungkin mengajakku kencan. Dirinya lebih senang mengamati laporan keuangan dan berkutat dengan berkas yang menumpuk.

"Tidak. Kamu sendiri tidak pergi dengan tunanganmu?" tanyaku balik.

"Dia sedang di Singapura. Katanya begitu kembali akan melamarku," ungkap Mykaila dengan antusias menyampaikan kabar bahagia itu.

Kenapa dunia ini tak adil? Mykaila cantik, cerdas, anak orang kaya, calon suaminya tampan dan mapan, romantis pula. Kapan Bana melamarku? Aku juga ingin menikah sama seperti wanita pada umumnya. Pertanyaan itu tak pernah terjawab sampai sekarang.

"Sebenarnya kekasihmu itu bekerja di mana? Sepertinya dia sibuk sekali."

"Sebuah perusahaan ternama," jawabku singkat.

"Bagus! Kalian malah ngerumpi, bukannya bekerja," ucap Miko yang sudah berdiri di depan kubikelku. Sungguh menyebalkan sekali. Kenapa Miko selalu muncul tiba-tiba. Pasti lelaki itu akan meluapkan amarahnya lagi kepadaku.

"Maaf, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai. Satu jam lagi saya mau menemui Bu Melly. Oleh karena itu, saya pamit dan titip pesan dengan Lanav," bohong Mykaila.

Miko hanya berdeham saja, Mykaila langsung pergi undur diri. Sementara diriku masih harus berhadapan dengan bos menyebalkan ini. Aku menyunggingkan senyum manis sebaik mungkin.

Miko menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, aku was-was dia akan melakukan hal yang membuatku menderita. Bisa jadi, dia menghukumku dengan lembur yang menyita waktu istirahatku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku selembut mungkin. Ia tersenyum masam. Manik matanya menajam seketika.

"Hai, Tuan Putri! Bangun jam berapa kamu sehingga bisa terlambat seperti itu. Kamu pikir, ini kantor ayahmu? Kerjalah yang benar, jangan membuat masalah terus. Untung aku sedang baik hati," katanya dengan nada datar, tetapi mimik wajahnya tampak kesal.

Aku mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hati karena diktator satu ini sedang baik hati.

"Jangan senang dulu, gajimu bulan ini dipotong," lanjutnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

Untung saja aku belum berterima kasih pada iblis rupawan nan menyebalkan ini, kalau tidak itu akan sia-sia saja.

"Baik, Pak," kataku tunduk padanya karena terpaksa daripada kena hukuman berat, jadi aku mencari aman saja.

"Ada masalah apa kamu dengan Pisang Beku itu?" tanya Miko serius, mimik wajahnya berubah seketika yang semula terlihat tak bersahabat, kini menjadi santai. Tidak semenegangkan tadi. Ia langsung menarik bangku untuk duduk.

Aku meremas-remas tanganku di balik meja karena bingung hendak menjawab apa. Takut Miko curiga. Tamatlah riwayatku kalau ada yang tahu hubunganku dengan Bana. Bisa jadi kekasihku itu murka dan menyalahkanku akan semua kekacauan ini.

"Kenapa diam? Kamu punya banyak masalah dengannya?" Miko menatapku lekat, membuatku semakin gusar. Namun, sebisa mungkin aku memasang raut wajah santai.

"Kuberi tahu, Nav! Segalaknya aku memarahi atau menghukummu itu demi kebaikanmu dan kelancaran jalannya perusahaan ini. Bagaimanapun aku atasanmu di sini, meski di luar kita rival atau apalah itu. Kalau kamu punya masalah dengan divisi lain atau petinggi perusahaan ini, aku juga ikut bertanggung jawab. Jadi, tidak perlu ragu untuk mengatakan apa yang terjadi. Aku tidak akan memarahimu, sebisa mungkin aku akan membantu masalahmu. Sekejamnya seorang atasan, dia tidak akan rela kalau anak buahnya dimarahi orang lain," jelasnya dengan nada tegas.

Entah aku harus terharu atau bangga dengan Miko? Yang kutahu, dia berbahaya. Kata-kata manisnya mungkin racun yang mematikan. Bisa jadi dia malah bukan membantuku, tapi menghancurkanku.

"Tidak ada, Pak. Cuma salah paham. Kalau Bapak mau tahu lebih lanjutnya, tanya Pak Bana saja," kataku dengan diakhiri senyuman.

Miko hanya mengangguk.

"Terserahlah, kalau ada apa-apa jangan libatkan aku ke permasalahanmu," katanya, lalu berlalu meninggalkan ruanganku. Aku menghela napas lega.

Tbc....

Ada yang penasaran, ada yang baca gak sih?

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang