Defisit #14

24.2K 2.1K 80
                                    

Kalau ada typo kasih tahu, ya.

***
Kutata sayur di atas meja dengan senyuman. Pagi ini aku memasak sup karena di kulkas milik Bana hanya ada wortel, kol, brokoli, bakso, dan makaroni. Menu ini yang kurasa cocok dimasak. Apalagi untuk sarapan serasa segar dan hangat.

Bana yang baru saja mandi sudah bersiap untuk menyantap hidangan. Ia sudah mengambil mangkuknya dan mengisinya dengan nasi.

"Kamu sepertinya semangat sekali mau sarapan? Aku saja yang masak belum mencicipi," kataku seraya menggeser kursi untuk duduk.

Bana melirik ke arahku dengan kernyitan, lalu ia bersuara, "Emangnya kenapa, Nav?"

"Aku yang masak saja belum makan dan kamu sudah mau makan. Tunggu yang masak untuk mecicipi dulu kenapa," balasku dengan nada kesal.

"Kan baru mau makan, bukan sudah makan. Lagian, enggak setiap hari bisa sarapan," jawabnya dengan nada datar.
Aku tersenyum masam. Diriku mengerti benar kalau Bana sering tak sarapan karena tidak ada yang memasakannya makanan. Makanya, dia hanya minum susu. Dirinya bisa sarapan seperti ini kalau ada aku yang masak. Suruh siapa hidup menyendiri? Menjauh dari keluarganya, tak menggunakan jasa asisten rumah tangga lagi.

"Makanya menikah, Mas. Nanti biar ada yang masakin setiap hari," ejekku dengan santai.

"Kalau cuma mau dimasakin enggak usah nikah, Nav. Tinggal aku nginap di rumahmu kalau tidak aku culik saja kemari. Tidak usah diculik saja, pasti datang sendiri," sahutnya dengan santai.

"Hai! Aku kemari kalau ada kepentingan saja, ya. Kalau enggak ya ogah males. Lebih baik tidur-tiduran sambil nonton kartun."

"Iya, aku tahu. Kamu kan pemalas. Mandi sore saja malas, bangun siang. Makanya kalau ke kantor sering telat. Kayak gini kok pengen nikah," cecarnya.
Aku ingin membantah, tapi sayangnya apa yang dia ucapkan benar. Pagi-pagi seperti ini sudah merusak suasana hatiku saja. Kadang, aku itu pulang sudah malam ya jadi malas mandi. Kalau bangun siang itu kecapekan. Dikira jadi staf pemasaran itu mudah. Memang benar kalau target penjualan terpenuhi atau melebihi ketentuan, maka bonus akan berlimpah. Namun, sayangnya tak semudah itu.

"Ya, ya, ya. Kamu benar. Sepertinya kata-kata kalau perempuan selalu benar itu salah. Buktinya, aku tidak pernah benar. Bana selalu Benar dan Lanav selalu salah," gerutuku.

"Nav, coba kamu lihat ke bawah itu ada hewan apa di kakimu," ucap Bana seraya menunjuk ke bawah meja. Kontan, aku langsung menunduk tetapi tidak apa-apa.

"Tidak ada apa-apa, Bana," jawabku dengan nada ragu.

"Ada tadi. Coba kamu jongkok dan mencarinya lagi!" perintah Bana dengan nada lembut.
Dengan polosnya, aku mengangguk. Kemudian, aku cari hewan itu seraya berjongkok. Namun, hasilnya tetap nihil. Jangan-jangan Bana menipuku. Aku langsung duduk kembali, lalu menatap ke arahnya kesal yang asyik makan.

"Bana! Kamu menipuku," kataku dengan nada kesal. Namun, dia hanya diam saja. Masih menikmati supnya dengan lahap.
Aku menghela napas, lalu mataku tak sengaja melihat kotak beludru berbentuk hati di depanku yang di bawahnya ada kertas. Lantas, tanganku terulur begitu saja mengambilnya. Kemudian, kubaca tulisan di kertas itu.

Aku tidak bisa merangkai kata-kata. Langsung saja ke intinya. Menikahlah denganku agar aku punya anak yang mengemaskan seperti dirimu.

Aku langsung melirik ke arah Bana yang tengah meneguk teh hangat. Kemudian, pandanganku beralih kembali ke kotak yang aku pegang. Kubuka isinya setelah meletakkan kertas di atas meja. Sebuah cincin berinisial A & L. Kutepuk pipiku pelan untuk memastikan aku tak mimpi.

"Bana, kamu melamarku?" tanyaku padanya.

"Bisa jadi karena aku belum menemukan tanggal yang pas untuk kapan kita menikah. Yang penting aku sudah melamarmu. Sebelum, orang lain melamarmu."

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang