Defisit #5

29.8K 2.5K 11
                                    

2/1 Kedatangannya

Aku berjalan dengan santainya, serta senyum tipis terus mengembang di bibirku seraya mengayunkan brosur yang kubawa. Tas yang kuselampirkan di pundakku terasa begitu ringan seperti kapas, padahal isinya banyak. Sesekali aku menyapa setiap orang yang berjalan ke arahku. Hari ini aku merasa keajaiban tengah mewarnai hariku, bagaimana tidak? Banyak pelanggan yang menambah pesanan akan produk yang aku tawarkan. Pendapatan pemasaranku melebihi target. Diriku yakin sekali, kalau bosku yang galak itu akan tersenyum dan memberikanku bonus.

Kakiku melangkah terus, padahal pikiranku melayang bebas—membayangkan isi atmku melambung. Sampai aku tak sadar kalau ada orang lain yang berdiri di hadapanku, tetapi ia membelakangiku. Aku tak sengaja menabrak punggungnya yang mengakibatkan brosur yang kubawa beterjatuh berserakan di lantai. Sontak aku meringis dan memegangi wajahku.

"Kalau jalan itu hati-hati," kata Bana dengan nada datar dan raut wajah tanpa ekspresi, begitu ia berbalik ke arahku.

Aku hanya diam. Bana langsung berjongkok memunguti brosurku dan menatanya, lalu ia berikan kepadaku. Tanganku hendak meraihnya, tapi Bana malah menjauhkannya dariku.

"Nona Lanav Ayudia mau brosur ini?" tanyanya seraya mengayun-ayunkan brosur milikku.

Sepertinya Bana ingin mengerjaiku. Dia paling pintar mengancurkan suasana hatiku yang semula ceria, kini menjadi kesal. Kalau bukan kekasihku, pasti sudah kujitak dia.

"Iya, Pak Bana. Saya minta maaf karena telah menabrak Anda dan terima kasih atas bantuannya," jawabku dengan nada selembut mungkin.

Bana tersenyum manis seraya meraih tanganku dan memberikan brosur itu ke telapak tanganku.

"Bana!" panggil seseorang wanita yang berjalan dengan terburu-buru ke arah kami. Dirinya sangat cantik, pikirku. Dia memiliki wajah oval dengan bulu mata lentik dan mata cokelat yang pekat, hidungnya tak mancung tetapi juga tidak masuk ke dalam. Jangan lupakan, bibir semerah cabai yang menggoda. Rambutnya lurus sebahu—dibuat kriting menggantung.

Timbul berbagai pertanyaan di otakku. Siapakah dia? Kenapa ada di sini? Ada urusan apa dengan kekasihku. Rasa was-was melingkupi hatiku. Entah kenapa benakku mengatakan kalau wanita ini terpikat dengan Bana, serta ingin memilikinya.

Kuamati manik mata Bana yang sinarnya meredup, ketika ia menangkap sosok wanita ini. Raut wajahnya beubah seketika—menjadi datar kembali.

"Hai, Bana! Ini aku Via," terang wanita dengan blouse biru tua ini seraya menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai tak keruan ke daun telinganya. Raut wajahnya tampak bahagia menatap Bana.

"Hai, Vi! Sudah lama tak berjumpa. Kau masih terlihat muda saja," balas Bana dengan raut wajah yang lebih manusiawi daripada sebelumnya.

"Iya, kau berharap sekali kalau raut wajahku aku tua, ya? Jangan bilang kalau kau tidak bisa melupakanku karena aku masih saja terlihat muda di usia kepala tiga," godanya dengan diakhiri senyuman yang teramat manis seperti gulali, sehingga membuat wajahnya tampak bersinar.

"Kau masih saja sama, Vi. Pasti, sekarang kau sudah menikah dengan eksekutif muda, kan?" tebak Bana.

Aku seperti orang kikuk sekarang. Berada di antara mereka dengan pembicaraan yang taku kumengerti arahnya dan merasa diabaikan. Tak ada yang menghiraukan kehadiranku..

"Aku masih sendiri. Aku baru saja menyelesaikan S2-ku dua tahun yang lalu, kemudian fokus dengan karirku. Oh iya, aku bekerja di sini sekarang," jelasnya dengan bangga.

Dalam hati, aku kasihan dengannya. Pasti perempuan seperti dia adalah wanita yang gila kerja. Buktinya tak kunjung menikah, padahal usianya sudah kepala tiga. Namun di satu sisi, aku was-was dengan perilakunya yang seperti itu. Bisa saja, kedatangannya kemari membuat petaka untukku, kalau dia berani mendekati Bana dan mencurinya dariku.

"Ehemmm...." Aku berdeham untuk menyadarkan mereka, ada aku di sini.

Bana menengok ke arahku, lalu menoleh kembali ke arah Via, "Vi, aku masih ada urusan. Aku pamit," kata Bana, lalu menggandeng tanganku menuju lift.

Aku tak mengerti, kenapa Bana malah menarik tanganku. Membawaku bersamanya, padahal ruanganku tinggal berbelok ke kanan. Namun, aku hanya terdiam. Sampai di lift, aku membuka mulutku.

"Pak, saya mau dibawa ke mana?" tanyaku masih formal karena aku mengikuti ucapan Bana yang menyuruhku harus menghormatinya selayaknya karyawan lain.

"Ke hotel," jawabnya santai seraya melepas tangannku dari genggamannya.

"Saya masih ada urusan, Pak. Saya mau melaporkan data penjualan ke kepala staf, biar nanti diberikan ke Pak Jatmiko secepatnya," terangku yang masih membayangkan bonus melimpah.

"Besok saja, semua karyawan di divisi pemasaran sudah pulang," terang Bana.

Aku melirik ke arah arloji Bana, lelaki itu langsung menyodorkan tangan kirinya. Terlihat kalau waktu telah menunjukkan pukul 20.32 WIB. Ternyata sudah malam, aku begitu semangat kerja hari ini menemui para pelanggan. Jadi, tak menyangka saja kalau sudah malam.

"Terus kita napain ke hotel. Ada acara resepsi pernikahan atau pesta?" tanyaku menebak-nebak.

"Makan malam—"

"Makan malam romantis ya Bana. Tumben baik sekali dan manis," potongku dengan nada ceria.

"Makan malam biasa kok," bantahnya.

Aku tertunduk lesu. Seharusnya tak berharap romantis dari Bana, itu pasti nihil.

"Kalau mau makan malam ke restoran saja. Kenapa harus ke hotel. Aneh-aneh saja," sahutku kesal.

"Lah, kan mau menginap juga. Aku terlalu capek kalau harus pulang. Jadi, menginap sekalian."

"Terus aku pulang sendirian?" tanyaku dengan menatapnya lekat.

Bana menggeleng.

"Kamu menginap bersamaku. Kalau kamu pulang terus siapa yang akan memijat punggungku?" Bana berkata tanpa dosa saja, begitu entang. Aku ini siapanya? Seenaknya sendiri saja. Kalau aku istrinya tak masalah suruh ini-itu. Diriku juga lelah ingin segera memejamkan mataku di atas ranjang.

Tinggg!

Bunyi lift terbuka membuyarkan lamunanku. Bana langsung menarik tanganku kembali.

Tbc...

Yuhuuu. Sebenarnya ini genre masuk metropop sih.

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang