Defisit #4

29.4K 2.7K 21
                                    

Sampai di sini udah ada bayangan tentang Bana?

1/4

Aku menatap Bana kecewa seraya menggeleng.

"Kau pikir, itu lucu Bana. Usiaku tak lagi muda. Kita ini pacaran tidak satu, dua hari. Sudah bertahun-tahun Bana, lalu apa yang ditunggu-tunggu lagi. Kau sudah mapan, karirmu bagus. Saking bagusnya kamu selalu mengampangkan semua dengan uang," cibirku dengan nada kesal, raut wajahku sudah kutekuk. Bagaimana tidak? Aku sudah menjadi kekasihnya semenjak sekolah hingga saat ini, tetapi tak pernah ada kepastian kapan aku akan duduk di pelaminan bersamanya.
Bana berjalan semakin mendekat ke arahku, lalu memegang kedua bahuku.

"Sayang, sabarlah. Kamu pasti akan menjadi istriku. Aku punya alasan, kenapa tidak menikahimu dalam waktu dekat ini. Tolong mengertilah," katanya dengan menatapku lembut.

"Terserah, aku lelah. Jangan salahkan aku kalau aku berpaling darimu, jika ada pria yang lebih tulus dan serius akan menikahiku dibandingkan kamu," ujarku sekenanya, walau pada dasarnya aku tak kuasa mengatakan perkataanku barusan. Aku tak pernah berpikir ingin mengakhiri hubunganku dengan Bana karena aku sudah lama dan nyaman berada di sisinya. Paham akan segala sikapnya yang kadang sebeku es balok atau kadang manis walau samar, itu pun manis kalau ada maunya atau kalau aku sudah merajuk. Terkadang saja, aku kesal, dia masih saja dingin. Itulah Bana yang memiliki banyak sisi.
Bana melepaskan tangannya dari bahuku.

"Nav, kenapa kamu bicara seperti itu? Itu tandanya kamu tidak percaya padaku," ucap Bana dengan nada datar, tetapi raut wajahnya tampak lesu.
Aku tersenyum getir.

"Aku pamit," kataku seraya bergeser, lalu melangkah menjauh darinya. Kuambil tasku yang berada di meja seraya meletakkan lotion di atas meja. Kemudian, aku menengok.

"Bana, ini dokumenmu yang tak sengaja aku acak-acak. Bisa kamu periksa sekarang," jelasku seraya mennunjuk ke arah map tetapi, tatapanku ke arah Bana.
Bana mengangguk, lalu berjalan ke arahku. Ia langsung membuka dokumennya, begitu aku mengambilnya dan memberikannya padanya.

"Ada yang hilang," celetuknya dengan nada tegas.

Aku bingung, pasalnya aku yakin dokumen Bana hanya itu. Tak ada lagi di tempatku. Jantungku berdebar tak keruan, takut dia marah padaku. Bagaimanapun kalau seorang Albana Yaser merajuk, pasti membuatku was-was karena ia sering mendiamkanku beberapa hari. Didiamkan itu tak menyenangkan. Hidupku sudah dipenuhi dengan namanya.

"Apa?" tanyaku ketus, berpura-pura biasa saja, pasdahal aku sudah kebingungan. Tanganku berkeringat.
Bana meletakkan berkasnya kembali, lalu ia menarikku ke dalam pelukannya. Kurasakan irama detak jantunya yang tak beraturan sama dengan renyut jantungku.

"Kekasihku, jika kamu pergi. Nav, beri aku waktu untuk mempersiapkan semua. Aku janji paling lambat tahun depan kita menikah," mohonnya dengan nada lembut, lalu melepaskan pelukannya. Kini, manik matanya bersitemu dengan mataku.

Aku mengangguk.

"Terima kasih, Sayang," jawabnya seraya mencubit pipiku.

Aku hanya berdeham seraya menyingkirkan tangannya.

"Sekarang sudah malam, sebaiknya kamu menginap di sini saja," katanya seraya memasukkan kedua tangannya di saku celananya.

"Ya," balasku singkat seraya berjalan ke arah almari Bana untuk mengambil pakaian untuk dikenakan saat tidur yang pastinya adalah baju milikku sendiri. Hampir seperempat isi almari kekasihku dipenuhi oleh pakaianku karena aku sering menginap di sini, apalagi kalau dia sakit. Siapa yang merawatnya kalau bukan aku? Padahal keluarganya ada di kota metropolitan ini, tetapi anehnya dirinya tak pernah meminta bantuan kepada keluarganya kalau ada apa-apa.

Langsung kubuka pintu almari yang langsung menampakkan bajuku di gantungan pakaian. Kuambil baju tidur bewarna merah jambu dengan gambar Spongebob, kartun kesukaanku.

"Nav, aku mau ke bawah. Kamu mau cokelat hangat apa kopi?"

"Cokelat hangat saja," balasku seraya menutup almari Bana.
***

Bersambung...

Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang