Defisit # 11

26K 2.1K 33
                                    

Ayo beli pdf Defisit cuma Rp 25.000. Beli judul lain Rp 15.000. 11 judul Rp 85.000

Hub wa 085865080449

"Bana, gawat. Aku bisa dipecat. Lepaskan aku kalau kamu mencintaiku," kataku penuh penekanan di akhir kata.
Kurasakan pelukan Bana mengendur. Dirinya benar-benar melepaskan pelukannya dari tubuhku.

Aku segera mengambil jarak menjauh dari Bana, lalu berbalik arah menuju ke ruanganku.

"Lanav!" panggil Jatmiko yang membuat jantungku berdebar tak keruan karena takut. Aku menoleh ke arahnya, diikuti pula oleh Bana yang juga memandang ke arah Miko dengan senyum masam. Miko mempercepat langkah kakinya ke arah kami. Tanganku terasa bergetar. Tak sanggup mendengar omelannya lagi. Ini semua gara-gara Bana.

"Kau terlambat lagi dan apa-apaan kalian," kata Miko dengan nada ketus, lalu menunjuk aku dan Bana bergantian, "ini kantor bukan tempat pacaran. Tuan Albana Yaser tahu kan akan hal itu. Bisa-bisanya Anda berbuat seperti itu."

"Tidak, Pak. Bapak salah paham," elakku dengan nada semeyakinkan mungkin dengan mengerakkan tanganku di depan dada.

"Saya berlari dan tak sengaja menabrak Pak Bana terus tubuh saya limbung," lanjutku sesantai mungkin yang entah dipercaya atau tidak.

"Kenapa kau sewot, kau cemburu?" Bana menatap tajam Miko.

Miko memutar bola matanya.

"Untuk a-apa saya cemburu? Ada-ada saja. Memang Anda pikir saya gay. Maaf, saya masih normal. Saya hanya menegur, hal seperti itu tidak etis. Apalagi, Lanav itu anak buah saya. Sudah terlambat malah acara pelukan dengan Anda," jelas Miko dengan nada datar.

"Pura-pura tidak tahu atau memang bodoh. Kenapa orang sepertimu bisa menjadi manajer pemasaran. Untung kau bukan CMO. Pantas di bawah kepemimpinanmu divisi pemasaran tak berkembang," cibir Bana tanpa memandang ke arah Miko.

"Anda tidak melihat laporan keuangan dengan baik. Bulan lalu penjualan meningkat dan sekarang juga, walau pegawai saya memang beberapa suka telat datang kerja," bantah Miko tak terima.

"Itu kau mengakui anak buahmu sering terlambat. Bukan Cuma Lanav saja, bahkan yang senior juga. Semenjak kepemimpinanmu, pegawai menjadi pemalas. Provit memang naik, tapi kedisiplinan berkurang. Bekerja itu ada etikanya."

Aku terdiam. Diriku hanya menyimak. Tak kusangka malah menjadi begini.

"Mereka tidak malas. Sering terlambat akhir-akhir ini karena ada perbaikan jalan kan yang tidak jauh dari perusahaan yang mengakibatkan kemacetan parah. Kalau malas, mana mungkin penjualan meningkat. Anda sendiri kenapa malah mengajak saya berdebat. Tidak bekerja. Lebih baik Anda kembali bekerja dan begitupun saya demi kelancaran perusahaan."

Miko terus memberi pembelaan kepada divisi kami. Walau dia sering mengoceh atau memaki anak buahnya tetapi kalau ada yang merendahkan divisi pemasaran, ia pasti akan membela anak buahnya.

"Hari ini saya tak bekerja karena ambil cuti. Kemari hanya untuk menyerakan berkas kepada CEO. Lagi pula, pekerjaan saya hari ini sudah kuselesaikan kemarin. Lagi pula, Anda dulu yang mulai mencibir saya," balas Bana dengan formal.

Aku mengernyit. Tadi, Bana bilang tak mau ambil cuti. Sekarang dia malah mengatakan yang sebaliknya. Sulit ditebak dan dimengerti mau Bana itu apa.

Miko hanya diam, sepertinya dirinya sudah terlalu lelah menanggapi ucapan Bana.

"Ya, sudah. Saya permisi. Urus pegawai Anda dengan baik," pamit Bana dengan nada sinis ke arah Miko, lalu pergi begitu saja.
Aku menunduk, takut menjadi luapan emosi Miko.

"Nav, lain kali kalau jalan hati-hati," ujar Miko dengan lembut. Di luar perkiraanku. Kontan aku mendongak. Tak kusangka dia percaya dengan omonganku tadi yang penuh kepalsuan.

"Iya, Pak."

"Untung Bana tak memakimu. Besok, jangan sampai menubruk makhluk seperti itu lagi. Tak habis pikir kenapa pria seperti itu diberi otak cemerlang oleh Tuhan, sehingga karirnya meroket," celetuk Miko dengan nada kesal.

Dalam hati, aku mengiyakan pendapat Miko tentang Bana. Kelakuan Bana banyak minusnya, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Belum lagi, rupanya yang sangat memesona. Apalagi, kalau tersenyum. Begitu menenangkan hati. Sayang, Bana jarang tersenyum tulus. Meski tak memiliki lesung pipit seperti Miko, tapi aku suka sekali senyuman Bana. Dia tampak lebih muda dari umurnya kalau tersenyum.

"Aku akan bekerja keras dan kubuktikan lebih baik darinya. Lihat saja nanti kalau aku jadi CMO."

"Emangnya kenapa kalau jadi CMO. Sama saja kan kedudukannya dengan CFO. CFO memegang kendali di bidang keuangan dan CMO di bidang pemasaran," balasku kebingungan.

"Gaji CMO lebih banyak dari CFO. CFO hanya 150 juta sampai 250 jutaan per bulan. CMO lebih dari itu. Bisa 300 juta, tergantung pengalaman dan perusahaannya juga," terang Miko yang membuatku mengangga.

Sungguh fantastis gaji CFO. Pantas saja Bana selalu bilang kepadaku untuk mengatakan keperluan apa yang aku butuhkan, pasti dia belikan. Bana baru diangkat satu setengah tahun lalu sebagai CFO mengantikan CFO sebelumnya yang mengundurkan diri. Namun, aku yakin uangnya sudah banyak. Dia bekerja saja sudah bertahun-tahun. Bahkan dari SMA, dia sudah berkerja paruh waktu di kafe dan mendesain logo. Bana itu rajin belajar dan pekerja keras. Tak ada orang yang kukenal serajin dia. Namun, semua itu malah membuat waktuku dengannya semakin berkurang.

"Hai, kenapa kau malah melamun? Sana kembali kerja!" perintah Miko membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk. Bersyukur, tak dimarahi oleh Miko atau diberi hukuman.

Aku pamit dan membungkuk hormat sebelum pergi. Kulangkahkan kakiku cepat untuk sampai ke ruanganku dan mengirimkan pesan ke Bana untuk banyak istirahat dan makan. Diriku masih cemas akan keadaannya. Andai saja aku bisa cuti akan kuurus pria menjengkelkan itu. Merawatnya sepenuh hati.

Tbc....

Hello. Banyak juga yang dukung Bana. Ya udah doa aja ada keajaiban Bana mau berusaha keras tuh wujudkan impian. Kalau pendukungnya Miko, doa aja hati Lanav berpaling. Eakk.



Defisit (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang