Genius of Unicorn (Part 12)

173 8 0
                                    

Pagi yang cerah, matahari berani menampakkan sinarnya yang menyilaukan. Donna, Marvin, Alica dan Kevin duduk di halaman depan. Mereka satu bunch.

Mereka memulai risetnya yang  sederhana. Alica dan Donna membuat teh ramuan yang berkhasiat sebagai pelangsing tubuh yang aman. Sementara Kevin dan Marvin membuat produk makanan yang unik, cokelat stroberi yang merupakan coklat batang dengan ekstrak stroberi.

"Alica, daun teh yang saya ambil adalah pucuk daun teh segar yang diambil di pagi buta. Komponen pendukung lainnya adalah air dengan kadar mineral yang tinggi. Saya tambahkan pula ekstrak matcha Jepang. Tadi pagi saya sudah melakukan ekstraksi di laboratorium." Kata Donna.

"Bagus, Donna. Saya sudah membuat kemasannya yang menarik. Mari kita lihat, aku ingin dengar pendapatmu." Balas Alica, sambil menunjukkan rancangan desain kemasannya di layar laptop.

"Bagus, Alica. Warnanya mungkin dipilih yang lebih cerah. Target konsumennya adalah kalangan remaja, jadi pewarnaan yang cerah namun soft mungkin perlu." Donna memberi saran. Alica langsung mengedit kembali, lalu mencetak kemasannya.

"Teh ini berpotensi untuk menurunkan berat badan, secara berproses. Namun, tidak ada dampak yang terlalu berbahaya. Konsumsinya hanya boleh satu pack untuk satu bulan kalau maksimalnya. Kalau berlebih, tidak baik bagi ginjal." Jelas Donna.

"Iya Donna. Kita harus minta surat rekomendasi dari Gebi sebagai ketua laboratorium dan kepada Quina sebagai Profesor saat ini."

"Tentu."

"Donna, apa kamu ingat atas apa yang pernah kita lakukan dulu pada Quina? Apakah kita pantas melakukan riset dibawah bimbingannya? Aku malu, Donna." Ujar Alica tiba-tiba.

"Iya, aku menyadari apa yang kita lakukan salah. Quina itu baik dan hebat. Aku sekarang mengaguminya. Tessa yang paling bersalah atas ini." Jawab Donna.

"Tessa sudah menipu kita, dia melakukan riset hanya memikirkan kepentingan dirinya. Uang riset kita pun banyak yang terkuras, makanya aku memilih untuk meninggalkannya." Kata Alica.

"Benar, Kevin dan Marvin pun berkata begitu."

"Tetapi, kenapa Tessa masih berjuang di kantor ini?" Tanya Marvin.

"Aku tidak tahu apa tujuannya." Balas Kevin.

"Vin, aku membuat ekstraksi stroberi kemarin. Aku membeli stroberi import dari Palestina. Stroberinya sangat besar dan bagus. Rasanya manis. Aku letakkan di kulkas ruangan depan." Kata Marvin.

"Aku ambil ya." Jawab Kevin. Kevin mengambil ekstraksi stroberi tersebut dan kembali duduk.

"Mari kita mulai. Aku sudah membuat adonan coklat di sini. Mari dicampur dengan stroberi tersebut, lalu dioven." Ujar Marvin.

"Kalian berdua jago masak juga haha." Canda Alica. Teman-temannya hanya tersenyum.

Beberapa menit kemudian....
"Coklatnya sudah matang, lalu kita bungkus dengan rapat. Tidak perlu pakai pengawet, ini tahan hingga 1 bulan karena dibungkus rapat. Kalau sudah terpapar suhu ruangan, awet sekitar 1 Minggu. Aku sudah mendesain bungkusnya dan diberi keterangan expire." Kata Kevin.
***

Quina duduk di kantor utamanya. Ia memasang fotonya bersama Randy, berfigura di meja kantornya. Ia memandang foto itu cukup lama.

"Tok..tok..tok..." Ada suara ketukan pintu.
"Silakan masuk."
Alica dan ketiga temannya masuk ke dalam. Quina setengah kaget.

"Hai, Quin."
"Hai... Kalian? Ada apa?" Quina bingung.
"Quin, aku bersama temanku ingin meminta maaf atas perlakuan yang tidak menyenangkan pada waktu dulu di perkuliahan magister." Kata Marvin memulai pembicaraan, tampak kaku.
"Tidak masalah, aku bahkan sudah melupakannya." Balas Quina, walau hatinya masih terasa sesak. Memaafkan tetap menenangkan Quina.
"Syukurlah... Kami bermaksud untuk meminta surat rekomendasi darimu, Quin." Ujar Donna.
"Tunggu, apa kalian sudah meminta surat rekomendasi dari Gebi?" Tanya Quina.
"Sudah barusan." Jawab Alica sambil menunjukkan surat rekomendasinya.
"Baik, aku terima. Aku cek dulu semua riset kalian hingga lolos uji." Kata Quina.
"Kamu sangat baik dan berbakat, Quin. Kami malu padamu." Kata Kevin.
"Kenapa harus malu? Bukankah kita teman? Lalu, dimana Tessa? Kalian tidak bersamanya?" Jawab Quina.
"Kami sudah tidak berminat lagi untuk bergabung dengannya." Jawab Marvin.
"Baik, riset kalian sudah lolos uji dan silakan lanjutkan. Kalau butuh konsultasi, aku akan membantu kalian." Kata Quina dengan menyunggingkan senyumannya.
"Terimakasih, Quin!!!"
***

Tessa semakin galau. Kini, posisinya di kantor bagaikan disudutkan. Tak ada lagi yang berminat menjadi temannya. Rasa gengsinya enggan untuk mengakui kemampuan Quina.

"Dasar bodoh. Kamu gagal. Ayah kecewa padamu!" Profesor Juno sudah berpuluh kali memaki Tessa sejak kemarin.

"Aku sudah berjuang kemarin di Singapura! Aku sebagai Runner up! Ibu saja bangga padaku! Kenapa Ayah tidak?" Balas Tessa tambah kesal.

"Tentu aku kecewa, meraih penghargaan Nobel saja kamu tidak bisa! Ayah sudah mati-matian mempertahankan jabatan Ayah untuk kamu. Tapi, kamu selalu mengecewakan Ayah!"

"Aku selalu salah di mata Ayah. Jangan lampiaskan semua kekesalan mu padaku, Ayah." Tessa menangis dan berlari menuju kamarnya. Ibunya berusaha menghibur putrinya.

Ayahnya merasa berantakan, semuanya kacau balau.
***
Sore hari...
Quina mengecek beberapa dokumen penting. Ia menemukan beberapa laporan atas nama Profesor Juno.

"Prof Quina, kami menemukan fakta bahwa kasus keuangan sudah merugi besar dengan tersangka Profesor Juno sebagai penyalahgunaan uang. Namun, karena atas sumbangsih jasanya, kami tidak berniat untuk membawanya ke meja hijau. Hanya saja, beliau diberhentikan akibat tidak kompeten dan tidak profesional dalam bekerja." Kata Ben, seorang detektif.

"Saya sedikit kaget dengan ini. Lalu, apalagi yang menjadi faktor penyebab keluarnya Profesor Juno?" Tanya Quina penasaran.

"Saya mendengar beberapa komplen dari para pekerjanya bahwa attitude Profesor Juno sangat kasar dan tidak bisa memberi contoh yang baik kepada bawahannya. Bahkan, dia mempersulit penyerahan surat rekomendasi padahal itu merupakan kewajibannya." Balas Ben.

"Baik, terimakasih informasinya Pak Ben. Ini sangat membantu." Quina sangat lega setelah mengetahui semua permasalahan kantornya.
***

Kini, Gabriel usianya menginjak 7 tahun. Ia bersekolah di sekolah internasional. Quina tetap mendampinginya dalam hal mengajar.

Gabriel sudah bisa membuat software komputer yang berhasil dipublikasi di negara Asean. Selain itu, ia merancang alat pendeteksi kanker. Alatnya sangat canggih, dan mulai diperkenalkan di Prancis, didampingi oleh Randy.

*Apa langkah Quina setelah mengetahui semua kejahatan Profesor Juno? Apa keputusan yang Tessa ambil setelah mendapat kesulitan yang bertubi-tubi? Bagaimana Gabriel dewasa akan tumbuh? Tunggu Part selanjutnya. Jangan lupa follow dan vote 💕*

Genius of UnicornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang