1 - Awal

225 27 14
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi hampir setengah jam yang lalu, tetapi Satya belum beranjak dari bangkunya. Ini memang sudah jadi kebiasaannya setiap hari—menunggu di kelas hingga hampir satu jam setelah sekolah bubar, baru berjalan ke parkiran dan pulang. Soalnya, anak itu malas kalau harus berdesak-desakan dengan teman-temannya yang kepingin cepat pulang, juga mobil-mobil jemputan yang sering bikin macet. Satya lebih ikhlas mengorbankan satu jam untuk menunggu daripada kesal sendiri di jalan. Lagipula, satu jam itu tidak terlalu lama, kok. Ia juga bisa menggunakannya untuk berbagai hal: mengerjakan PR, mencicil latihan soal untuk persiapan ujian masuk PTN tahun depan, belajar untuk ulangan esok hari ...

... atau mengamati gadis pujaannya.

Gadis itu, Safira, juga termasuk salah satu murid yang selalu pulang paling akhir. Ia bukannya ingin menghindari jam-jam macet seperti Satya, tetapi Fira—panggilan gadis itu—harus menurunkan bendera merah putih yang terkibar di lapangan sekolah. Memang semua anggota Paskibra bergantian dapat giliran mengibarkan dan menurunkan bendera, tetapi Fira sebagai anggota senior tentu harus mengawasi setiap hari. Hal itu membuatnya harus datang paling pagi dan pulang paling sore setiap hari. Walau begitu, Fira justru senang. "Jadi seperti yang punya sekolah," begitu katanya. Satya juga senang, karena dengan begitu ia bisa bertemu Fira lebih lama setiap harinya.

Hari ini, Fira juga mengawasi penurunan bendera yang dilakukan adik kelas. Rambut hitam pendeknya tetap rapi walau sudah lewat jam pulang sekolah, dan gerak-geriknya saat ikut meghormat bendera tegas sekali. Kedua matanya memancarkan wibawa seorang Paskibra senior, yang walaupun hampir purna tugas tetap selalu hadir dan menjalankan tugas dengan baik.

Cantik, pikir Satya. Di matanya, setiap hari Fira memang cantik—namun entah mengapa, rasanya hari ini gadis itu lebih cantik dari biasanya. Kenapa, ya? Apakah karena kedua matanya hari ini tampak lebih besar dan gelap? Apa Fira memakai lensa kontak? Ah, tidak tahu. Pokoknya gadis itu cantik sekali! Titik.

Apa bisa saya mengabadikan rupanya hari ini? Satya bertanya-tanya. Saya ingin bisa melihatnya lagi dan lagi, tetapi saya akan jadi penguntit kurang ajar jika memotretnya dengan kamera.

Sebuah ide terbersit di benak Satya. Ia mengeluarkan pulpen dan selembar kertas, lalu mulai menulis. []

***

[Author's note] 

Haii! Akhirnya saya balik ke Wattpad lagi setelah off dari tahun 2018 :") Kemarin habis ada temen yang chat soal Wattpad, saya jadi pingin log in lagi hehehe. 

Saya lihat-lihat di draft banyak WIP yang gak jadi-jadi yang umurnya sudah 2-3 tahun, dan akhirnya saya memutuskan buat lanjutin WIP yang ini karena konsepnya paling matang (dan paling simpel, hehe). Fun fact: cerita ini perpanjangan dari salah satu "surat" yang dulu pernah saya bikin buat writing challenge :D 

Chapternya bakal pendek-pendek (banget) biar bisa update rutin, jadi maaf buat yang suka baca cerita panjang karena saya ndak bisa kasih yang kalian harapkan :(

Akhir kata, selamat membaca, ya! Semoga suka✨ 


Surat-Surat Satya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang