I must have sent four hundred poems on the way you used to smile at me
I used to write them for you daily, but my thumbs are running dry lately ....Satya melangkah gontai. Earphone yang terpasang di sebelah telinganya itu memutarkan lagu Regent's Park, lagu Bruno Major kesukaannya.
Ironis, ya? Satya tak pernah menyangka bahwa ia akan mengalami sendiri kisah dalam lagu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Nyatanya ia memang telah mengirim sekian banyak surat kepada Fira, dan mulai hari ini ia berhenti karena ternyata Fira tidak suka dikirimi surat begitu.
Satya menghela napas, menghenyakkan diri di bangku panjang dekat parkiran belakang, dan memejamkan mata. Ia ingin menghabiskan Regent's Park dulu sebelum kemudian menyalakan motornya dan pulang, namun tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan.
"Satya!"
Yang dipanggil menoleh. Ternyata Fira. Rambut pendeknya sedikit berantakan dan napasnya terengah-engah habis berlari—namun di mata Satya, gadis itu masih saja cantik seperti biasanya.
But now we're here in Regent's Park amongst the flowers, and I wish it would rain
'Cause in the sun, you look so lovely that I'm falling for you over again ....Satya menelan ludah. Stop, Satya. Kamu harus berhenti berpikir begitu. Bukankah kamu jelas-jelas sudah ditolak?
Ia berkata dengan suara yang sebisa mungkin dijaganya agar tidak bergetar, "Kamu cari saya?"
"Ya." Fira tampak kebingungan mencari kata-kata. "Gue—aku udah baca surat kamu."
"Lalu?"
Fira menelan ludah. Selama hampir tiga tahun sekelas, baru kali ini Satya melihat gadis itu tampak gugup. "Emm ...."
Since I have nothing left to say that will make you change your mind
I'll say goodbye on a beautiful spring day ...."Tenang saja, saya nggak akan ganggu kamu lagi, kok." Satya tersenyum sedih. "Seperti yang sudah saya tulis, saya akan berhenti kirim surat. Maaf ya, kalau selama ini sudah bikin kamu risih."
"Bukan begitu!" Entah mengapa Fira malah jadi marah. "Aku enggak risih, justru aku tiap hari selalu nunggu surat dari kamu! Aku suka puisi-puisi kamu, Satya!"
Deg. Deg. Jantung Satya berdentum-dentum di dalam sangkar iganya. "Kamu ... suka baca surat-surat saya?" tanya Satya.
Raut muka Fira melunak. "Ya. Bahkan semua surat kamu aku jadikan satu di dalam binder khusus."
"Bukannya sudah .... Berarti kamu tidak merobek surat dari saya?"
"Enggak," jawab Fira tegas.
"Lalu yang kamu robek kemarin ...?"
"Kamu kira yang kirim surat ke aku cuma kamu aja? Dasar kepedean." Fira tertawa. Bahasa tubuhnya sudah lebih santai dibanding saat ia pertama datang tadi. "Itu surat dari Boni, anak kelas sebelah, temanku di Paskibra. Aku nggak suka Boni, dia terlalu ngotot walaupun aku udah bilang nggak mau. Dia selalu taruh surat itu sore setelah kita sama-sama pulang, jadi baru aku terima besok paginya. Kalau surat yang dari kamu, pasti selalu aku ambil dan simpan sebelum aku pulang."
"Oh ...." Satya tidak dapat menahan senyumannya. Seluruh beban di kepala dan dadanya langsung hilang begitu saja mendengar penjelasan Fira. "Begitu ya, ternyata."
Fira ikut tersenyum. "Maaf ya aku nggak pernah balas atau bicara sama kamu tentang surat-suratnya. Aku malu, bingung juga harus gimana."
Satya mengangguk-angguk, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kalau sekarang kamu mau saya bagaimana?"
"Kalau aku bilang aku mau kamu berhenti kirim surat, gimana?" Fira malah balik bertanya.
Satya bingung. "Kan saya memang sudah bilang kalau mau berhenti."
"Iya. Jangan kirim surat lagi, Satya ... boros kertas."
"Hah?"
"Ganti lewat chat saja, gimana? Kamu sudah punya nomorku dari grup kelas, kan?"
Satya hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. "Saya nggak salah denger? Kamu mau ... saya chat kamu?"
"Aku kurang jelas, ya?"Fira tertawa. "Kita ngobrol lebih banyak, yuk, Satya? Aku penasaran sama pembuat puisi-puisi yang aku terima kemarin."
Rasa kaget Satya berangsur-angsur reda, digantikan oleh bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Kamu serius, Fir?"
"Dua rius, hehe." Fira tertawa kecil. Semburat merah jambu halus muncul di kedua pipinya. "Nanti malam chat aku, ya. Kalau bisa kirim puisi lagi, hehehe."
Kedua ujung bibir Satya terangkat membentuk sebuah senyum lebar. "Ya," jawabnya, "nanti malam saya bikin puisi lagi buat kamu."
Fira hanya tersenyum alih-alih menjawab Satya lagi. Mereka berdua sama-sama diam, namun suasananya sama sekali tidak canggung maupun dingin. Sebaliknya, keheningan di antara mereka terasa hangat dan menyenangkan.
Sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Satya. Mungkin bisa dibilang terlalu berani, tapi Satya nekat saja bertanya, "Kamu pulang naik apa?"
"Sama ojol, sih," jawab Fira. Ia sepertinya belum mengerti apa maksud Satya. "Hari ini lagi nggak ada yang bisa jemput."
"Rumah kita searah, kan? Mau bareng saya?" Akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari mulut Satya. Ia sudah mengira bahwa dirinya akan terbata-bata saat menanyakan hal itu pada Fira, tetapi nyatanya kata-kata itu malah meluncur dengan begitu mulus dari bibirnya.
Satu detik. Satya dan Fira sama-sama terdiam.
Dua detik. Satya mulai khawatir, jangan-jangan ia tadi keseleo lidah dan salah bicara? Atau Fira sebenarnya tidak mau dan sedang memikirkan cara terbaik untuk menolak?
Tiga detik. Rona kemerahan muncul di wajah Fira. Gadis itu pun menjawab malu-malu, "Mau, kalau nggak ngerepotin."
Satya tersenyum lebar sekali. Ia hampir tertawa saking senangnya. "Saya tunggu di sini, ya. Kamu beres-beres dulu," katanya pada Fira, masih sambil tersenyum lebar. "Bawa helm, kan?"
"Bawa," jawab Fira yang kini ikut tersenyum lebar. "Tunggu ya, aku cepet kok."
Satya bahkan hampir tidak memperhatikan Fira yang berlari-lari kecil menuju kelas karena sudah tenggelam dalam kebahagiaan. Fira memang tidak mengatakan secara gamblang bahwa ia juga menyukai Satya, tapi ini sudah merupakan sebuah kemajuan besar! Satya sudah bisa membayangkan dirinya menurunkan Fira di depan pagar rumahnya, belajar bersama di perpustakaan, jalan-jalan keliling kota di hari Minggu—
Kejauhan, Satya! Ia memarahi dirinya sendiri. Pelan-pelan saja, tidak baik juga kalau terlalu cepat. Nanti malah—
Pikiran Satya terhenti ketika Fira muncul lengkap dengan tas, jaket, dan helmnya. Gadis itu mengulum sebuah senyum kecil, membuat Satya mau tidak mau ikut tersenyum juga. Ya, seperti ini saja sudah cukup untuk sekarang. Toh masih ada satu tahun lagi sebelum mereka benar-benar berpisah; masih ada banyak hal yang bisa terjadi, kan? []
***
[Author's Note]
Omoo akhirnya saya bisa nulis satu cerita sampe tamat😭😭 ya short story sih tapi ini kemajuan besar buat saya soalnya biasanya nulis one shot doang hehe. Hope you enjoy the story as much as I enjoyed writing it💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat Satya [COMPLETED]
Short StorySatya tidak pandai bicara. Mencari bahan pembicaraan dengan teman saja susah, apalagi untuk ngobrol dengan Safira, gadis anggota Paskibra sekolah yang diam-diam disukainya. Satya tidak pandai bicara. Maka ia pun memilih untuk melakukan apa yang ia b...