Hari ini Satya gugup sekali. Bagaimana tidak, kemarin ia sudah mengirimkan puisi pertamanya untuk Fira!
Apa Fira sudah baca puisinya? Apa ia suka? Atau malah risih? Satya bertanya-tanya. Jangan-jangan suratnya belum sampai karena sudah dibuang duluan oleh anak-anak yang piket. Jangan-jangan suratnya kemarin terbang tertiup angin dan hilang sebelum Fira kembali dari lapangan. Jangan-jangan—
Satya menggelengkan kepalanya keras-keras. Ah, saya tidak boleh berpikir begitu. Yang penting kemarin sudah saya berikan. Perkara suratnya sampai atau tidak, bukan salah saya. Perkara Fira bagaimana, itu haknya. Dilihat dulu saja hari ini bagaimana ....
Akan tetapi, hingga bel pulang sekolah berbunyi, Fira tak juga mendatangi Satya dan menanyakan suratnya kemarin. Bahkan hari ini mereka sama sekali tidak bicara satu sama lain—yah, kurang lebih sama seperti biasanya: Satya sibuk belajar, dan Fira sibuk dengan kegiatan Paskibra dan pengurus kelas dan entah apa lagi.
Sedikit banyak Satya jadi lega; ini berarti Fira tidak marah dikirimi surat seperti itu—atau suratnya memang belum sampai.
Kalau begitu, pikir Satya, tidak apa-apa, kan, kalau saya kirim surat lagi? []
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat Satya [COMPLETED]
Short StorySatya tidak pandai bicara. Mencari bahan pembicaraan dengan teman saja susah, apalagi untuk ngobrol dengan Safira, gadis anggota Paskibra sekolah yang diam-diam disukainya. Satya tidak pandai bicara. Maka ia pun memilih untuk melakukan apa yang ia b...