06

55 10 8
                                    

Author POV

Stephen kira Halsey akan takut melihat rupa pimpinan mereka yang sangat aneh. Tetapi ternyata Halsey malah mendekat dan menatap pimpinan itu dengan detail.

"Wow, ini sebuah karya seni." Kata Halsey. "Siapa namamu, tuan?"

"Namaku Lode, senang bertemu dengan kalian."

Ucap pimpinan itu sambil tersenyum ramah.

"Oh, perkenalkan juga nama saya Halsey dan dia teman saya Stephen."

Ucap Halsey malah sambil menjabat tangan sang pimpinan dengan ramah, seakan pemimpin itu adalah manusia normal.

"Jangan rasis, Stephen, dia juga manusia." Bisik Halsey yang menyadari keraguan Stephen.

"Dia bukan manusia," Stephen mengingatkan.

"Lakukan saja." - "Kita harus pandai mengambil perhatiannya supaya bisa cepat-capat pulang."

Dengan berat hati, Stephen menyalami tangan sang pimpinan dengan tangan dingin serta gemetar.

"Oh, nona Halsey, saya kira Anda akan takut pada saya. Tapi ternyata tidak."

"Tentu tidak tuan, saya seorang Profesor, bukan perempuan cengeng, saya selalu menyukai sesuatu yang baru."

Bagus. Sekarang dia menyukai makhluk aneh itu. Dia melangkahiku. Luar biasa.

"Selamat datang di Holocautus Halsey dan Stephen! Volo dan Cagla adalah pemandu kalian, saya harap mereka memperlakukan kalian dengan baik."

"Ya, Cagla dan Volo memperlakukan kami dengan... sangat... baik."

Terlihat jelas kalau Halsey memaksakan perkataannya.

Memperlakukan kami dengan baik apanya? Dari tadi mereka hanya membentak kami.

Kalau bukan karena eksperimen, aku pastikan kalian berdua tidak akan selamat. Batin Halsey.

"Untuk membuat kalian nyaman tinggal di sini, katakan kepada saya apa saja yang kalian inginkan." Kata Halsey mewakili Lode.

"Saya ingin laboratorium yang luas beserta dengan fasilitas selengkap-lengkapnya."

"Oh, kami memiliki ruangan itu di sebelah kanan gedung ini. Ruangan itu sekarang menjadi milik Anda. Bagaimana dengan Anda, Stephen?"

"Tidak perlu, Cagla, saya takut jika kalian tidak dapat mengabulkannya."

"Kami akan mengabulkannya sebisa kami, Stephen." Jawab Cagla.

"Pulang."

Jawab Stephen. Memang hanya satu kata, namun kata yang dipilih Stephen adalah kata yang salah, kata nan paling mudah memancing kemarahan sang pemandu.

"Anda sudah tahu sendiri jawabannya, kan, tuan Stephen?"

"Umurku masih dua puluh empat."

Seru Stephen dengan mata sinis kepada Cagla.

"Oh ya, maafkan saya, adik Stephen." Jawab Cagla nyaris mencibirnya.

"Terserah. Asalkan kau tak memanggilku dengan pak apalagi tuan."

******

Setelah berbincang-bincang selama dua jam lebih bersama Lode, akhirnya Lode mempersilahkan Stephen dan Halsey melihat kamar mereka yang letaknya terpisah.

Mereka pun telah meletakkan barang-barang yang sudah di bawa Halsey dan Stephen dari bumi di kamar mereka masing-masing.

Untuk menuju kamar, Halsey dan Stephen melalui begitu banyak lift serta lobi yang begitu panjang.

Dalam perjalanan, tiba-tiba Stephen menatap Halsey untuk yang kesekian kalinya.

"Kenapa kau terus menatapku begitu?" Ucap Halsey yang mulai menyadari tatapan Stephen. Tetapi Stephen malah menggelengkan kepala.

"Aku hanya kurang percaya dengan yang aku alami akhir-akhir ini."

"Maksudmu?"

"Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang misterius di dalam trem, dan ia meninggalkan diary-nya di dalam trem tersebut. Karena saat itu aku harus berangkat ke Brazil lusa, jadi aku menitipkan diary milik gadis itu kepada sepupunya,"

Jawab Stephen dengan mata menerawang sambil terus berjalan.

"Tak bisa ku percaya bahwa gadis itu bertemu denganku di dalam pesawat dan ia adalah seorang Profesor terkenal dari Brazil, lalu hanya dalam hitungan jam, ia terjebak bersamaku di dimensi lain yang dihuni oleh makhluk yang lain lagi."—"Ini semua memang terlalu konyol untuk diceritakan, tapi, hal itu benar-benar terjadi padaku. "

"Kau memanggilku apa? Misterius?" Gumam Halsey terkekeh.
"Namun, Steph, nasib itu memang bisa berubah. Tinggal kita yang memilih jalan yang ingin kita tuju."

"Tapi tidakkah nasib kita saat ini terlalu gila untuk bisa dikatakan nasib?"

"Memang gila. Tetapi juga bisa dikatakan menarik, karena jika kita berhasil pulang ke bumi, kita bisa mengungkap rahasia dunia." Ucap Halsey tersenyum.

Stephen pun mengangguk. "Halsey, aku punya satu pertanyaan. Apa kau mendukung gerakan feminist?"

"Tentu saja. Aku dari dulu mendukung gerakan feminist, karena menurutku wanita bisa sederajat atau bahkan lebih dari pria."

Stephen pun kembali mematung.

Jika Halsey adalah seorang feminist, maka memilikinya hanyalah sebuah imajinasi.[]

Hey Stephen! - [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang