Cinta itu fitrah. Cinta itu anugerah. Namun, jika cinta datang ditempat dan waktu yang salah, masihkah itu anugerah ataukah musibah?
***
Dia Dina, sahabat yang sangat kusayangi. Mungkin dari semua orang yang pernah kuberi gelar terbaik itu, dialah yang terpilih sebagai sahabat untukku.
"Bi, ada yang ingin kutanyakan. Boleh?," celetuknya padaku tanpa menoleh. Dia sibuk mematut wajahnya di depan cermin.
"Ya bolehlah Din, kayak pejabat yang lagi rapat paripurna minta izin segala"
Aku tertawa. Kalau kayak gini, pasti dia ingin bertanya soal cinta. Mau curhat tapi masih malu.
"Kalau kita mempunyai rasa sama laki-laki dalam diam, gak dosa kan?" tanya Dina setelah beberapa menit sebelumnya mengajakku berdebat agar tidak menertawakan pertanyaannya. Dia malu-malu kucing.
"Hmm. Gimana ya, dosa gak?" jawabku lamat-lamat. Tampak mimik wajahnya yang serius menunggu jawaban.
"Bila, ih...serius,"
"Tau ah, kesel." Dina memanyunkan bibir. Gadis itu memukulku dengan sisir yang tadinya dia pakai di depan cermin. "jawab, Bi" paksanya lagi.
Ini anak labil banget, setelah marah malah masih minta jawaban.
"Gini ya, sejauh pemahamanku sih tidak. Cinta itu fitrah, wajar kalau kita merasakannya, apalagi sama laki-laki, artinya kita masih normal. Mengenai dosa atau enggaknya, tinggal bagaimana kita menyikapi rasa jatuh cinta itu. Kalau kita jaga dan menyerahkan semuanya sama Allah, enggak dosa. Kalau kita melampiaskannya dengan jalan pacaran, itu dosa," jawabku berhati-hati.
Dina masih butuh penjelasan yang logis dan masuk diakal. Sahabatku yang satu ini sedang dalam proses hijrah, baru putus dengan pacarnya dan sementara kuajak menjauh dari dunianya yang dulu. Pelan-pelan tapi pasti ku do'akan semoga Allah memberinya hidayah dan memudahkan jalannya. "siapa sih dia? Mantanmu itu?" tanyaku ragu.
"Bukan ah, sudah putus rasa dengan orang itu. Tidak usah bahas dia, Bi. Kau bilang mau membantuku hijrah?" jawabnya menahan emosi. Aku kaget, duh, salah lagi salah lagi.
"Ampun. Iya, maaf. Terus siapa?"
Wajahnya tampak ragu untuk menjawab. Sekilas kerutan dikeningnya berganti seulas senyuman kecil mirip pasien jiwa yang kulihat saat berjalan di koridor Rumah Sakit Jiwa.
"Dia yang minjam kameraku kemarin," jawabnya tertunduk malu. Wajahnya mirip udang rebus, pertamakalinya aku melihat dia seperti ini.
"Hah, orang yang selalu kau ceritakan kalau lagi bahas masa SMA itu?" aku menahan nafas selama tiga detik. "Pantas saja kau tau sedetil itu tentang hidupnya."
Dina terus menunduk malu, menutup wajahnya dengan boneka doraemon kesayangannya, lalu berteriak dengan mulut yang ditutupi bantal.
"Pantas saja kau ngotot menyuruhku menunggu kedatangannya agar kameramu bisa dipinjam. Padahal kan yang butuh dia." Aku tertawa kecil meledeknya.
"Pantas saja kalau diajak dia kau tak pernah menolak, malah maksa mengajakku meski hanya kalian berdua yang ketemuan."
"Ih, Bila, hentikan. Tuh kan aku nyesel curhat sama kau, pasti begini," semprotnya padaku. Badanku habis dipukulnya dengan boneka. Dina berhenti ketika aku berhasil memelas padanya minta ampun.
"Menurutku dia biasa saja. Apa yang istimewa sampai kau segitu sukanya?" tanyaku lagi saat berbaring disebelahnya. Amukan Dina sudah reda setelah gosok gigi dan berwudhu sebelum tidur.
Dina menghela napas kasar, tampak lelah dia membahas perasaan yang sudah lama dipendamnya itu, sejak SMP.
"Kalau kau tahu cerita sebenarnya tentang dirinya, mungkin kau juga akan punya rasa yang sama denganku," ujarnya menatap langit-langit kamar.
"Ah, lebay. Mana mungkin," desisku tak percaya. Dina malah tertawa.
"Iya dan tidak boleh," timpal gadis itu masih dengan kekehan. Aku ikut tertawa dan mengejeknya yang sedang cemburu dengan angannya sendiri.
"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti," ucapku, Dina diam tak menanggapi. Matanya yang masih terbuka menatap lampu yang belum kumatikan dengan tatapan kosong. Mungkin dipikirnya aku bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
General Fiction"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...