Project 8 : Kenyataan yang mengejutkan

123 2 0
                                    

~fathulWahab~
Aku mau konsultasi dulu sama bapak ibu kalau libur

Sudah seminggu lamanya aku menatap ketikan itu. Kalimat yang mampu melumpuhkan saraf-saraf logika dan mengaktifkan unsur senyawa imajinasi. Kepada lelaki yang telah ku jatuhkan rasa, belum kutemukan diksi yang mampu menjadi majas terhadap kamu sebagai wujud perasaan hati.

Pada hari ke delapan aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Wahab, Dina datang untuk menginap di kosanku malam ini karena besok pagi ada jadwal turun ke project rumah belajar. Rasa resah perlahan muncul saat benda pipih persegi panjang milikku kini ada ditangannya.

Aku dan Dina memang biasa menggunakan barang itu sesuka hati, entah ponselnya aku geledah atau dia yang mengeksploitasi ponselku, tidak ada rahasia diantara kami. Namun, sekarang berbeda bagiku. Ada bom waktu disana yang siap meledak jika Dina sedikit saja menyentuhnya. Aku lupa menghapus riwayat percakapanku dengan lelaki cinta dalam diamnya, sejak pertama kali lelaki itu mengirim pesan. Allah, aku mohon kali ini selamatkan aku, jangan bunuh waktu kami.

"Eh sudah siap?" tanya Dina saat menyadari aku sejak tadi berdiri di muka pintu kamar.

"Dari tadi," jawabku ketus, pura-pura merajuk. Dina meminta maaf seakan berusaha bersikap normal padaku namun, aku yang terlalu peka bisa merasakan aura canggung dalam dirinya.

"Serius amat, liatin apa sih?"

"Ha? Ee...itu baca quotes. Eh jam berapa kajiannya?" Dina menyodorkan ponselku. Aku tahu ada yang disembunyikan gadis itu. Seperti luka lecet pada tumit yang masih tertutup kaus kaki dalam sepatu, perihnya hanya dia yang tahu dan dipaksanya untuk berlari dengan semangat.

Aku mengajaknya untuk ikut kajian kemuslimahan pekanan di masjid tempat tarbiyahku dengan Eka sore ini. Dina dengan riangnya menyambut ajakanku itu dengan sekali anggukan. Mungkin berlebihan, tapi itulah Dina yang semangat hijrahnya menggebu-gebu saat ku ajak pada kebaikan. Aku menyukai hal itu, membuatku semakin menyayanginya. Namun, hari ini sepertinya dia terluka karenaku. Apa mungkin dia menyentuh bom itu?

Suasana di atas motor begitu canggung, membuatku menahan napas beberapa menit sekali untuk menetralisir perasaan ini. Biasanya, Dina paling tidak bisa diam saat bersamaku walau dia yang mengendarai motor sekalipun. Sesuatu dalam dadaku mengeluarkan perintah, menolak bertahan dan ingin keluar saat itu juga. Layaknya mual yang ditahan-tahan ibu hamil muda trimester pertama, kalimat itu refleks mencuat tanpa permisi.

"Din,"

"Iya, Bi?"

"Aku mau nanya, tapi jangan dimasukin ke hati, hanya tiba-tiba saja pikiran ini datang di otakku"

Dina tertawa, "Tanya apa?"

"Seandainya kalimat yang pernah kau ucapkan padaku malam itu, tentang Wahab suka padaku, jika itu terjadi bagaimana?"

Satu, dua, tiga,empat, lima, Dina masih diam, jantungku berdetak makin tak karuan. Pikiranku berekspektasi kemana-mana. Bagaimana kalau Dina marah dan menyuruhku turun dari motor, lalu aku jalan kaki sendiri seperti gembel. Atau bagaimana kalau Dina syok dan tanpa sadar memutar gas kuat-kuat, lalu kami menabrak mobil kemudian, ah hentikan. Sementara aku sibuk dengan imajinasi aneh itu, masjid tujuan kami sudah di depan mata. Dina mengarahkan lampu sein ke kanan, menoleh ke belakang sebentar dan memarkir motor di halaman masjid. Masih tak ada kata yang keluar dari lisannya. Dina melepas kaitan helmnya, menggantungkannya pada shadel motor dan aku mengikuti aktifitasnya.

Project Hati√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang