"Assalamu'alaikum" terdengar suara bariton dari luar pintu pagar rumah Wahab. Aku tersentak saat mataku yang sayu hampir menutup.
Kutengok Ririn yang pulas tidur selepas maghrib. Kemudian beralih ke Nun, matanya juga tertutup setelah puas muntah-muntah lagi. Aku kasihan padanya. Besok, kalau Nun belum ada perubahan yang signifikan menunjukkan tanda baikan aku akan membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit.
"Loh, sopo iki mas?"
Baru saja aku akan menyambut lelaki pemilik salam tadi, tapi tampaknya lelaki itu sudah masuk duluan bersamaan dengan datangnya Wahab dari masjid.
Aku tersenyum hormat. Merasa aku yang ditanya, aku memperkenalkan diri. Aku bangun dari kursi rias milik Nun yang tadi kududuki. Lalu perlahan mendekat, menatap tangan bapak yang kutebak adalah ayah Wahab dan Nun.
Aku bingung salam tangannya tidak?
Kalau dipegang, dosa bukan mahram. Kalau tidak dipegang nanti dikira tidak sopan.
Belum selesai aku memutuskan, bapak yang kutebak ayah Wahab dan Nun menyatukan dua tangannya di depan dada. Tampaknya beliau paham apa yang akan aku lakukan.
"Bapaknya Wahab, asmane sinten nggeh?" Dahiku berkerut mendengarnya. Meskipun mengerti artinya, karena dulu sering kursus bahasa jawa sama Wahab.
"Eh maaf. Namanya kamu siapa maksudnya ndo. Bapak kira kamu orang jawa juga, soalnya mukanya kayak orang jawa" bapak itu terkekeh.
Aku tersenyum maklum. Dalam hati mengamini saja. Aku memang bukan orang jawa, tapi kalau nikah sama orang jawa pasti jadi orang jawa juga kan.
"Salsabila pak, itu teman saya Ririn. Kami kesini karena dipanggil Wahab buat obatin Nun" jelasku. Meskipun hanya ditanya nama, tapi sedia payung sebelum hujan itu perlu.
Ayah Wahab tergelak, "Bapak sudah tau kamu ngapain. Sudah dicerita sama Wahab. Kirain ibu perawat dari rumah sakit mana iki"
Aku tersenyum lagi menanggapinya. Kulihat Wahab menipiskan bibir mencuri pandang padaku. Lelaki itu tampaknya menahan tawa melihatku salah tingkah menghadapi ayahnya. Dalam hati berharap kedua lelaki Ayah dan anak ini segera pamitan ngapain kek. Atau yang lebih baik menyuruhku pulang.
"Bapak ganti baju dulu ya, baru pulang dari sekolah. Soalnya rapatnya sampai sore" kata beliau sambil berlalu ke mana, aku juga tak tahu. Mungkin ke kamarnya, setelah sebelumnya dibelainya anak gadis yang kini terbaring lemah itu, Nun. Oh ternyata ayah mereka seorang guru.
Wahab masih berdiri mematung menatap kepergian ayahnya.
"Ehm"
"Kamu"
"Aku"
Aku dan Wahab tak sengaja mengucap kata berbarengan. Membuat satu sama lain canggung lagi setelah sebelumnya mau bicara. Mungkin jodoh. Cie jodoh. Heh ngarep.
"Duluan," titah Wahab galak. Dia berubah dingin lagi.
"Aku mau pulang. Sudah malam. Kalau Nun kenapa-kenapa langsung ke rumah sakit saja"
Air mukanya berubah lagi. Sulit dibaca itu ekspresi apa. Ini aku yang sok pintar membaca bahasa tubuh atau bagaimana, entah.
Wahab masuk ke kamar Nun. Mengulurkan tangan di dahi adiknya kemudian menatapku sekilas. Dia duduk pada kursi rias yang tadi sempat kududuki. Lelaki itu menepuk kursi kayu satunya yang tadi dari dapur diungsikannya ke kamar Nun, menyuruhku ikut duduk.
"Aku mau pulang," ujarku lagi namun tetap patuh pada perintahnya. Aku duduk agak jauhan darinya.
"Jangan dulu. Kau tidak khawatir dengan keadaan pasienmu?"
"Bukan begitu. Lihat aku sama Ririn saja yang belum mandi di sini. Baunya nanti malah membuat Nun makin sakit"
Wahab menatap ubin, lalu mengangkat pandangan lagi. "Kalau begitu, pulang mandi lalu ke sini lagi" tawarnya.
Nampaknya akan sulit bernegosiasi dengan lelaki ini. Meskipun aku tinggal di kosan sendirian tidak ada yang menyuruhku pulang, tapi tidak etis juga berlama-lama di rumah lelaki bukan mahram. Kasihan juga Ririn.
Kalau ku katakan iya, tapi tidak berniat kembali dosa tidak ya?
Krik
Krik"Aku tidak memaksa, hanya menawarkan," Wahab bangun lagi dari duduknya, kemudian keluar kamar Nun.
Aku menatap ruang tetesan infus Nun. Rumah yang besar dengan suasana hening membuat tetesan cairan pink itu terdengar samar, mirip film horor. Tidak, itu bohong. Aku hanya berimajinasi saja.
"Bila"
"Bila aku tak berujung denganmu, biarkan kisah ini ku kenang slamanya. Tuhan tolong buang rasa cintaku,"
Ih suara siapa itu menyanyi.
"Iguana bangun. Pulang eh, rumah orang ini," aku menepuk pipi Ririn. Dia belum bangun. Aku mengguncangkan bahunya pelan. Belum bangun juga. Aku menarik bantal yang menyangga kepalanya. Iguana itu menggeliat.
"Apasih," suaranya serak dengan bau naga yang keluar dari mulutnya.
"Bangun"
"Hah kita dimana?" Tanya Ririn sambil menyapu pandangannya ke seluruh sudut ruangan kamar Nun. Aku memutar bola mata.
Ririn mulai mengumpulkan nyawa.
Aku mendekatkan wajah ke Ririn, "Sudah sadar?"
Ririn mengerjap-ngerjapkan mata mirip anak kecil. Sok imut. Dia cengengesan.
"Pulang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
Ficción General"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...