Sekarang aku dalam mobil milik Wahab. Katanya bukan miliknya, tapi yang kutahu dia yang menyetir anggap saja miliknya. Aku duduk dibelakang seperti penumpang taksi, ah Bila jangan mengeluh sudah ditolong juga.
Sebenarnya berat menerima ini, mengingat sore tadi aku membenci Wahab dan berjanji pada diri sendiri tak akan berhubungan dengannya lagi. Aku membuang muka dan meninggalkannya tanpa permisi, tapi dia masih menyambutku dengan bantuan saat aku membutuhkan. Masalahnya bukan karena malu atau gengsi, takutnya aku khilaf dan kembali baper atas kebaikannya. Tuhkan, gak tahu diri.
"Kosanmu sebelah mana?"
"Nanti setelah lampu merah kedua belok kiri, depan masjid"
Aku menjelaskan seadanya. Wahab tidak tahu ceritanya bagaimana aku bisa jadi gembel dadakan. Alasan yang kubuat rumit membuatnya berhenti bertanya dan mengiyakan akan membantuku. Alasan salah satunya ponselku mati, aku tak bohong, memang dia mati total.
"Salsabila," dia memanggil namaku dengan lengkap. Kalau seperti ini aku tahu ada hal penting yang akan disampaikannya. Aku berbesar hati berusaha menerima. Pasti tidak enak didengar.
"Ya?" Kulirik adik kecil yang duduk dikursi penumpang bagian depan, disamping Wahab, dia sibuk main ponsel. Mana mungkin Wahab mau berdua denganku dalam satu mobil, bukan mahram katanya, iya aku tahu, aku juga tak mau.
"Tentang pertanyaan, seandainya kita tidak berjodoh gimana? Itu bukan masalah khawatir tidak berjodoh, aku khawatir denganmu" katanya yang masih fokus dengan kemudi.
"Iya aku tahu," jawabku datar, bibir bergetar menahan sesuatu yang berat dipelupuk mata.
"Syukurlah kamu mengerti, aku takut akan keadaanmu nanti"
"Haha," aku tertawa miris. Lucu sekali hidupku ini.
"Ketawamu kuwi loh,"
"Kenapa?"
"Ketawanya orang sakit hati"
Cukup Wahab, cukup. Jelas sakit hati. Tidak usah diperjelas. Berusaha profesional menjadi temanmu itu sulit, jadi jangan menambah bebanku dengan keterbaperan.
"Gak. Aneh kamu, Mas"
"Jangan katakan aku aneh, sementara kamu memilih pendamping hidup yang aneh ini," tuturnya santai.
Apa? Apaan? Dia sadar gak sih? Atau mabuk darat? Astaga lelaki ini.
Aku menghela napas kasar.
"Mas, hentikan ya,""Apanya? Mobilnya? Kita sudah sampai?" Tanyanya sok heboh.
"Gak usah tiba-tiba bego juga sih," dia tertawa lirih. Samar-samar kudengar dari kursi belakang, karena aku duduk tepat dibelakangnya.
Dan Wahab benar-benar berhenti, menepikan mobilnya ke arah kanan sebab lampu lalu lintas menunjukkan warna merah dengan papan petunjuk jalan yang bertuliskan "Belok kiri terus"
Suasana dalam mobil hening, sesekali decitan suara karet terdengar saat wahab mengganti gigi dan mengatur koplingnya. Juga musik dari game yang sedang dimainkan adik kecil itu ikut menemani. Wahab tak memutar musik ataupun murotal ditape recorder mobilnya, entah kenapa aku juga tak tahu dan tidak mau tahu. Tak berapa lama mobil berhenti pada lampu merah kedua, setelah lampu hijau menyala, Wahab membelokkan mobil ke arah kiri, memasuki lorong beraspal dan mencari masjid yang satu-satunya berdiri megah di kompleks ini. Dua kali aku menjelaskan ciri-ciri kosanku dan menunjukkan arah padanya, kemudian kami sampai ditujuan.
"Terimakasih dan hati-hati dijalan," ucapku padanya sebelum turun dari mobil.
"Balik ya, Bi. Assalamu'alaikum," pamitnya padaku sambil tersenyum. Adik kecil itu ikut melambaikan tangan dengan sebelah tangannya masih memegang ponsel. Sebenarnya adik itu tidak kecil, maksudnya dia sudah SMP kelas 1 badannya saja yang masih kecil terlihat seperti anak SD. Aku membalas lambaiannya dan juga salam Wahab.
○○○
Seminggu berlalu, artinya jadwal pekanan di rumah belajar juga jatuh pada hari ini. Aku bingung bagaimana caranya harus bersikap jika bertemu dua orang yang mampu mengaduk hati dan imanku itu. Namun, aku juga bersyukur lewat mereka aku sadar bahwa Allah menunjukkan siapa aku sebenarnya. Ternyata hijrahku itu palsu, kata-kata nasihat bak mutiara yang teman-temanku terima saat meminta pendapatku soal agama adalah bualan semata. Bagaimana bisa pakaian syar'i yang menutup tubuh selama ini tak mampu membuatku berpikir malu untuk berbuat maksiat. Aku takut, Allah butakan mata hatiku sehingga titik hitam yang ada di hati ini telah menutupi masuknya hidayah dan aku jadi kufur selamanya, na'udzubillahimindzalik.
Jujur, ingin rasanya aku berhenti menjadi relawan di project rumah belajar. Selain karena masalah itu, aku juga ingin fokus ke dakwah dan kuliah saja, mengingat sebentar lagi aku akan lulus. Tapi lagi-lagi kalimat lelaki itu terus membuatku berpikir dan mengubah pilihan. Katanya,
"Jangan campurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Siapa lagi yang akan peduli pada masa depan bangsa, pada cita-cita anak-anak yang semula kita bangkitkan? Itu adalah pekerjaan kita, sebagai mahasiswa, kita mengabdi untuk negara. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai dan jangan lari dari tanggung jawab. Meskipun bukan uang, tapi kita digaji dengan pahala dan senyum bahagia anak-anak kurang beruntung seperti mereka. Insyaa Allah, ilmu yang kita berikan menjadi amal jariyah bagi kita kelak."
Baiklah, kalimat itu mampu menghipnotisku untuk berusaha menjadi orang yang profesional. Meskipun pikiran belagu ini malah salah fokus, baper lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/147186354-288-k335395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
Fiksi Umum"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...