Aku berjongkok di pojokan taman dekat parkiran, memeluk lutut dan menenggelamkan wajahku disana, seperti gembel. Derap langkah seseorang tak membuatku mendongakkan kepala, apalagi untuk bangun dari posisi rendahan itu. Dina menghampiriku, memanggil namaku dan memberikan helm kemudian menyuruhku untuk duduk diatas motornya.
Aku masih berdiri mematung seakan tak percaya. Kenapa dengan diriku yang tega menyakiti wanita sebaik dia. Ingin sekali mulut bodohku ini bertanya, apa kau baik-baik saja, Dina?
Deru mesin matic milik motor Dina masih menyala, kumandang adzan maghrib samar-samar dibawa angin pantai menelusup ke telinga.
"Ayo naik, Bi, sebelum waktu maghrib habis," kata Dina menginstruksi. Aku manut dengan tersenyum miris.
Langit belum sepenuhnya gelap, sisa senja masih terlihat dengan adanya berkas cahaya oranye yang menghiasi awan samar-samar. Di masjid, imam sudah shalat pada rakaat kedua saat aku dan Dina ikut masbuk dalam jamaah. Seusai shalat ba'diyah maghrib, aku tak mendapati Dina dalam ruangan masjid. Baiklah, aku pasrah jika dia meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Sudah kusiapkan jauh-jauh hari jika suatu saat Dina akan tahu dan bagaimana resikonya. Langkahku melambat saat kudapati motor Dina masih terparkir di halaman masjid, sedikit hati ini melega.
"Dina," panggilku pada gadis itu. Kudapati dia duduk di pinggir pantai dengan bangku semen yang tersedia. Gadis itu menoleh dengan tersenyum lembut, pipinya sedikit basah dengan mata sembab yang memerah. Dina, kau menangis?
Aku duduk disampingnya, hendak memeluk dan memberikan ketenangan dihatinya agar berkurang sedikit bebannya. Namun, aku tidak sebodoh itu. Dia sakit karenaku, mungkin saja sekarang tangannya ingin mendorongku sekuat tenaga hingga terjatuh ke pantai, tergerus ombak kemudian lenyap dibawa lautan yang luas.
"Jadi selama ini kau menyukainya?" Tanyanya dengan suara serak.
Ingin sekali aku berbohong, mengelak atas perasaanku, atau membuang perasaan ini. Sebenarnya aku juga tidak mau kalau perasaan ini datang dan meminta izin sebelum masuk ke dalam hati. Tapi, itu tidak mungkin.
"Jawab jujur, Bi," katanya lagi. Bahkan saat disakiti dia masih bisa memanggil namaku dengan selembut itu.
"Iya"
"Apa selama ini kalian punya hubungan?"
"Tidak, Dina. Aku tidak punya hubungan apapun dengan dia, demi Allah. Kau tahu, pacaran itu haram"
"Tapi kalian sering berkomunikasi, saling suka?" Suaranya meninggi. Mungkin muak dengan bualan palsu yang kuutarakan.
"Maaf Dina, maafkan aku."
Kuraih tangannya hendak menggenggam, tapi kedua tangan Dina mengeras meremas ujung jilbabnya. Punggung tanganku basah berkat cairan hangat yang mengucur deras dari mata Dina."Kenapa kau begini, Bi?" Tanyanya lagi sesenggukan, suaranya hampir hilang.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Kenapa? Aku juga tak tahu, semua terjadi begitu saja.
"Kenapa kau tega menghancurkan kepercayaanku padamu?"
Aku masih menunduk bergeming.
"Kau tahu, Bi, kau sudah seperti saudara kandungku," ada jeda tangis dikalimatnya, "tapi entah dosa apa yang kulakukan padamu sampai kau tega begini."
"Maaf Dina, maaf, maaf, maaf," hanya itu yang bisa kukatakan. Membual hanya akan membuatnya semakin sakit.
"Apa kau bisa merasakan rasanya jadi aku?" Dina melunak, tangannya tak lagi meremas, aku meraih tangannya yang melemah diatas pangkuannya, dia tidak menolak.
"Aku tahu, Dina, aku pernah bilang padamu"
"Kalau kau tahu kenapa kau melakukannya padaku?" Dina menangis lagi, membuang pelan tanganku yang masih menggenggam tangannya. Aku pasrah.
Hatiku keras, bahkan melihat jilbabnya basah dengan derasnya cairan hangat yang keluar dari netranya saat ini tak mampu membuat mataku panas, apalagi menjatuhkan bulirnya.
"Dina silahkan membenciku, mengumpatlah sesukamu, aku tahu aku salah, aku terima semua perlakuanmu padaku, semuanya. Apapun itu agar membuat hatimu lega," suaraku bergetar, ah sial mataku mulai panas.
"Tapi jangan tinggalkan aku. Tetaplah jadi sahabatku,"
"Aku membencimu, Bi. Aku marah. Kau egois"
"Aku tahu aku egois. Aku iblis, iya. Jangan percaya dengan wanita munafik sepertiku lagi, Dina," aku menatap matanya, "tapi sungguh aku tidak bisa kehilanganmu"
"Kau tahu, Dina, percuma kau marah padaku saat ini, tidak ada apapun diantara aku dan dia, semuanya sudah berakhir"
"Cukup bi, aku minta maaf. Mungkin dosaku terlalu banyak padamu. Aku mohon tinggalkan aku untuk saat ini. Biarkan aku berpikir jernih sampai aku bisa menerimamu lagi"
![](https://img.wattpad.com/cover/147186354-288-k335395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
Ficción General"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...