Setelah balasan pesan singkat malam itu, Wahab sering berbalas pesan denganku. Awalnya sekedar berdiskusi tentang project rumah belajar dan mencari referensi tempat baru yang akan diekspedisinya.
Kabar Dina baik-baik saja setelah mengatakan kalimat yang mungkin menjadi kekhawatiran dihatinya setelah memberikan nomor ponselku pada Wahab. Seperti biasa pula, dia selalu ingin tahu apa saja yang aku bicarakan dengan cinta dalam diamnya itu. Namun, akhir-akhir ini dia berhenti bertanya. Dina bilang dia tak mau membahas lelaki itu lagi dan apa yang kulakukan dengannya. Aku yang tak enak hati sempat berpikir kalau telah melukai perasaannya.
Benih-benih baru tumbuh dihatiku tanpa permisi. Mungkin masih dalam tahap nyaman dan aku takut untuk masuk terlalu jauh lalu kemudian jatuh. Meskipun tak pernah lagi bertemu, percakapanku dengan Wahab terus berlanjut sampai pada level yang tak kumengerti tingkat kemaknaannya, seperti sore itu,
~fathulWahab~
Kita ini seperti orang yang hidup segan mati tak mau
~Salsabila~
Hah?
Aku belum mau mati
~fathulWahab~
Bukan itu maksudnya
~Salsabila~
Terus?
~fathulWahab~
Kita sudah kehabisan bahan pembicaraan tapi nda rela percakapannya berakhir
Ambigu bukan?
Apa yang dikatakan Wahab benar adanya, mengingat kami berbalas pesan dari pagi sampai sore. Sesekali berjeda karena kesibukan masing-masing namun, tetap saja masih ada balasannya meskipun yang dilontarkan hanya, Oh, Begitu, Iya. Aku bingung bagaimana menerjemahkan perasaannya padaku, seperti ada yang berbeda dari perlakuannya. Dia baik, sangat baik, berbeda dengan caraku dulu memandangnya sebelum dekat dengannya. Saking baiknya mungkin aku jadi terlanjur baper, biasalah wanita. Aku menepis jauh-jauh perasaan itu saat wajah Dina terbayang begitu cemburu, aku sayang sahabatku, aku tak mau membuatnya terluka dan patah hati. Mungkin dengan menjauh sedikit dari Wahab perasaan itu akan hilang dengan sendirinya.
Hari ini aku akan berangkat ke luar kota untuk tugas studi. Malamnya tak bisa tidur karena gelisah baru pertama kali naik pesawat. Mana jam terbangnya pagi buta. Dina yang kini telah jauh di kampung halamannya hanya menemaniku lewat pesan. Seperti subuh tadi, pukul 04.00 dia sudah menerorku,
~sukmaDina~
Bi, woey bangun berangkat ke bandara nanti kau ketinggalan pesawat
Biiiiii
Bangun
Sudah sampe mana?
Jam berapa terbang?
Jangan kau muntah e, makan permen biar telingamu baik-baik saja
Membaca itu membuatku tersenyum. Dia memang sahabatku paling perhatian meskipun sedang jauh.
Sebelum pramugari menginstruksikan untuk memakai sabuk pengaman dan mematikan ponsel, kusempatkan membalas pesan Dina. Di bawahnya ada pesan dari Wahab yang menanyakan kepergianku pada postingan snap foto tiket pesawat pertamaku dengan caption, for the first time.
Sebelumnya memang aku tak mengatakan apa-apa padanya, karena sudah membulatkan tekad agar menjaga jarak dengan lelaki itu. Lagian dalam Islam aturan bergaul dengan yang bukan mahram mengatakan begitu, kalau tak punya kepentingan tidak diperbolehkan ada interaksi.
![](https://img.wattpad.com/cover/147186354-288-k335395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
Ficción General"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...