Setelah malam itu, rasa bersalah dan takut menyelimuti hari-hariku ditambah paraktek dinas dan laporan askep yang semakin membuatku galau merana. Beruntung Allah hadirkan seorang Eka yang mampu membuatku sibuk dan melupakan sejenak permasalahan hati yang tak berujung itu, kebetulan dia juga sedang berada di Solo untuk beberapa hari. Ingin rasanya aku bercerita, mengungkapkan kisah rumit yang sedang kutanggung mengingat dia teman akhwat satu tarbiyahku juga. Namun, hati kecilku berteriak jangan, malu nanti aibmu terbuka, biar Allah saja tempat meminta petunjuk.
Akhir pekan telah tiba, artinya hatiku harus siap memutuskan kepastian iman ini. Ingin bertekad memutus harapan dari bayang-bayang Wahab yang selalui menghantui. Setelah urusanku selesai dengannya, aku menyatakan keseriusan untuk menjauh perlahan dari lelaki itu. Kali ini kami bertemu hanya demi kepentingan project rumah belajar, bukan karena rindu, sugestiku pada diri sendiri.
Kakiku melangkah menuju stasiun Solo Balapan, memesan tiket dan check in sejam sebelum pemberangkatan. Karena baru pertamakali, aku mengetahui semua itu dari instruksi Wahab. Aku mengirim foto tiket kereta padanya, dia memberi arahan. Nanti telingaku harus mendengar baik-baik di jalur berapa keretaku akan berangkat, sesuaikan dengan jam yang tertera pada tiket kereta, setelah itu turun di stasiun Lempuyangan dan langsung menuju pintu keluar kemudian menunggunya. Jangan berhenti dan bergosip sama bapak-bapak yang berjejer seperti pagar ayu disepanjang jalur pintu keluar, sebab mereka pandai merayu agar bisa naik taksi, ojek ataupun becak mereka untuk ditumpangi.
"Pertamakalinya aku naik kereta, jalan sendiri di kampung orang, emak, aku gak nyangka ini ..," gumamku menatap lima jalur kereta yang masih kosong. Berlagak seperti aktor di film traveling kesukaanku. Namun, kahayalan itu tiba-tiba dipotong oleh seorang makhluk penganggu bernama Eka.
"Apa? Sendiri? Jadi ana apaan? Kentut nyamuk yang numpang lewat?" dumelnya sesuka hati.
Aku tertawa, berhenti menghayal dan duduk mendekat disampingnya, memeluk lengannya.
"Duh, afwan ukhti solehahku yang baik hati, tidak sombong serta rajin menabung," mendengar tuturku dia masih memasang muka judes menahan tawa.
"Pintar gombal kalau ada maunya," katanya lagi.
"Jazaakillahu khayr mau jauh-jauh ke Jogja buat menemaniku," ucapku melanjutkan gombalan. Dia tersenyum, nah, kalimat ampuh peluluh hati seperti magic. Jazaakillahu khayr (semoga Allah membalas kebaikanmu).
Kereta sudah tiba. Perjalanan Solo-Jogjakarta memakan waktu satu jam. Aku keluar stasiun sambil menggandeng tangan Eka seperti emak yang takut kehilangan anaknya.
"Pelan-pelan bisa gak sih," protesnya ditengah jalan. Aku pura-pura tidak mendengar dan tetap mempercepat langkah di tengah jejeran pagar ayu berisikan bapak-bapak yang sibuk merayu.
"Dek becaknya, muat dua orang kok. Mau dianter kemana? Malioboro, Keraton, Tugu, Bakpia, cuma sekali bayar," rayu salah satu bapak yang menghadang jalan kami sebab Eka berhenti di depannya. Baru kali ini aku dirayu terang-terangan, sama bapak-bapak lagi, jadi terharu. Buru-buru aku menarik kembali tangan Eka setelah mendapat dua panggilan tak terjawab dari Wahab, mungkin dia sudah menunggu sejak tadi.
Tepat di pintu gerbang keluar banyak jejeran becak, lagi-lagi kami dirayu bapak-bapak, rasanya kupingku ingin kusimpan dalam saku untuk saat ini.
"Mana temanmu?" tanya Eka tak sabaran.
Aku celingak celinguk mencari keberadaan lelaki itu. Berdasarkan pesan yang dia kirim, posisinya arah jam 3 ku. Entah arah jam 3 maksudnya apa, mungkin sebelah kanan. Aku tidak melihat tanda-tanda batang hidungya dan sedikit lupa bagaimana penampakan lekaki itu. Duh, bagaimana bilangnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/147186354-288-k335395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
Fiksi Umum"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...