Pagi ini akan kutunjukkan padanya apa itu teman profesional. Akan kubuktikan pada diriku sendiri bahwa aku tak menjatuhkan rasa lagi pada lelaki itu. Aku sudah kuat. Menyukainya dengan membabi buta sama saja dengan zina, meski aku tak pernah melakukan aktivitas pacaran dalam tahap sentuhan fisik, zina hati namanya. Satu kalimat yang ku patok menjadi tiang penyangga tenda imanku, zina itu keji dan buruk, Bila, iuh. Jangan dekat-dekat dengan hal itu.
Aku sedang sibuk berganti pakaian saat pesan seseorang menggetarkan ponselku
~SukmaDina~
Assalamualaikum
Bi, kau dimana?Dina?
Apa benar gadis itu?
Setelah seminggu lamanya, apa dia sudah bisa memaafkanku?~SukmaDina~
Aku akan berangkat ke surabaya
Aku check in jam 9 pagi iniApa katanya? Jam 9 pagi ini? Tapi hari ini jadwal turun ke project rumah belajar. Apa yang akan kukatakan pada Wahab semisal aku meninggalkan tempat itu? Dikiranya nanti aku kabur karena canggung dengan dirinya lagi.
Kenapa Dina harus memberitahuku semendadak ini sih. Ah, Bila harusnya kau sadar diri, bersyukur dia masih memberimu kabar.
Buru-buru aku membalas pesan gadis itu. Pasti Dina, insyaa Allah aku pasti dan harus datang padamu.
You can count on me like one, two, three
I'll be there
Aku tahu, dalam perjalanan bersenandung musik apalagi yang kebarat-baratan itu bukan hal yang dianjurkan, mending dzikir atau mengulang hafalan qur'an. Tapi apalah daya aku sedang bahagia. Aku yakin Dina sudah memaafkanku, kalau tidak untuk apa dia membuang waktu, pulsa dan tenaganya untuk mengirimiku pesan agar bertemu dengannya di bandara. Eh, ralat, dia tak mengajak bertemu, hanya memberitai kepergiannya. Well, sekali ini saja yang penting bukan senandung kasmaran.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu" aku baru saja sampai di rumah belajar, lalu menebar salam kepada semua teman pengajar yang sibuk mempersiapkan kelas. Semua menjawab dengan kompak.
"Tumben depe salam lengkap, ada ba senyum lebar pagi-pagi. Sa curiga nga ada ketindisan setan tadi malam to Salsa?" Kata lelaki bermulut wanita yang selalu sewot denganku menyapa dengan sangat manis. Fajar, siapa lagi.
"Orang cemberut protes, orang senyum protes. Mau mu apa tho lhe?" Baru saja aku membuka mulut, Wahab duluan yang menyambut kalimat Fajar.
"Tambah lebar senyumnya itu dibela sama guru gantengnya"
"Ih, cemburu," kataku melenggang pergi meninggalkannya.
Berteman dengan lelaki memang seru, asik dan lucu. Beratnya adalah saat hatimu baper ketika kenyamanan perlahan mengubah rasa menjadi cinta. Jika keduanya memiliki rasa yang sama itu bagus, yang ruwet saat kebaperan itu hanya dirasakan oleh sebelah pihak, sakit. Aku tidak kuat melihat senyum Wahab saat kata-kata Fajar yang terakhir menguar dari mulutnya seperti bau mint dari pasta gigi. Gagal hijrah apa gagal move on ini?
"Ayo semuanya kumpul di lapangan," kata Wahab menginstruksi anak-anak yang masih antusias untuk datang belajar.
"Hari ini kita belajar yang beda," katanya lagi.
Anak-anak itu dijejerkannya, membentuk satu shaf yang jamaahnya berjumlah tujuh, laki-laki semua.
"Pinjam kamera Gi,"
"Mau diapain itu anak-anak?" Tanya Yugi sambil menyodorkan kameranya.
"Lihat saja, pasti seru," jawabnya semringah.
"Ayo sekarang semuanya harus memperkenalkan diri di depan kamera, kakak akan merekamnya dalam bentuk video. Jadi contohnya begini, nama saya Wahab, umur saya 22 tahun, cita-cita jadi guru. Begitu, bisakan?"
Anak-anak itu angguk-angguk kepala dengan ekspresi wajah bingung, lucu.
"Ayo mulai dari kanan ya, satu, dua, tiga, action"
Anak pertama diam saja, dia senyum-senyum sambil memainkan jari di atas perutnya.
"Aduh, kenapa diam" Wahab kecewa sambil menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal sama sekali, lelaki itu menjeda rekaman videonya. Kami semua tertawa, termasuk anak itu.
"Bilang, nama saya, e?"
"Iya om," jawab anak itu. Tawa kami pecah lagi. Om guru yang ganteng, itu kode sudah pantas dipanggil bapak sama anaknya, cari emaknya buruan gih.
"Eh kakak," ralatnya merasa bersalah.
Akting dimulai, anak pertama memperkenalkan diri.
"Nama saya Ridwan, umur saya 5 tahun, cita-cita jadi ustad"
Masyaa Allah, rapalan kagum terucap dari mulutku.
Rekaman video berjalan dengan baik sampai pada anak ke tujuh. Diakhir akting itu, Wahab dengan ide anehnya membuat kami menggelengkan kepala.
"Eh tunggu, belum selesai," katanya saat anak-anak itu bubar tanpa aba-aba. Mereka berbaris lagi seperti semula.
"Sekarang, ketawa dulu"
"Hehe" Anak-anak tertawa pendek dengan koor.
"Lagi lagi"
"Hehehe" tawa mereka lebih panjang dari sebelumnya.
"Lagi lagi lagi"
"Wkwkwk" tawa mereka semakin terbahak, entah apa yang lucu namun, tawa yang tedengar lebih natural, ikhlas tanpa paksaan. Wajah mereka yang tadinya tegang, pucat pasi karena gugup, akhirnya berubah riang kembali.
"Tujuannya apa coba? Ngebodokin anak orang?" Tanyaku saat kami usai beramai-ramai menonton kembali video itu.
"Itu untuk melatih kepercayaan diri. Anak-anak harus dilatih pede tampil didepan umum dari sekarang," jelas Wahab.
"Trus yang terakhir itu, nyuruh ketawa gak jelas?"
"Tertawa dapat menetralisir rasa grogi"
"Oh ya?"
"Iya, orang-orang yang tampil di depan umum juga sering grogi, mereka menyiasatinya dengan senyum dan tertawa"
"Meskipun tertawa tanpa sebab kayak tadi?"
"Emang kalo ketawa harus ada yang lucu?"
"Ya gak juga sih, malah kadang yang lucu gak mesti ditertawakan"
"Sama seperti bahagia. Kita gak mesti senang dulu untuk bahagia, terkadang kita harus menciptakan bahagia itu sendiri bahkan disaat-saat terburuk kita"
Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Benar sekali, aku harus menciptakan bahagia meski sedang berada di masa-masa terburukku saat untuk pertama kali terluka karena cinta. Aku harus merelakanmu menikah dengan wanita lain, lalu menyakiti sahabat baikku dan hampir kehilangannya. Meskipun itu berat, aku harus bangkit dan menciptakan kebahagiaan itu. Aku tidak mau menghabiskan hidup dengan kesedihan.
"Kamu tersenyum," ucapnya. Membuat jantungku berdebar tak karuan. Hentikan hati, jangan baper.
"Eh Dina berhenti mengajar di sini e, katanya dia pergi, kemana?" Tanya Fajar tiba-tiba.
"Yah sepi dong, kurang satu personil," Yugi ikut menimpali.
Tunggu, ngomongin Dina, sepertinya aku lupa sesuatu.
"Ya ampun, jam berapa ini?" Teriakku membuat yang lain terperanjat, kaget.
"Jam 8 lewat," sahut Kiki sambil melihat jam tangannya.
"Ketua, aku ijin ke bandara, siang aku balik, janji" pintaku pada Wahab, guru sekaligus ketua project rumah belajar. Wahab mengangguk tanda memberi izin.
"Ati-ati, salam sama Dina," pesan mereka saat aku berlari tergesa.
![](https://img.wattpad.com/cover/147186354-288-k335395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Hati√
General Fiction"Kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta hanya pada suamiku kelak. Karena aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, agar dia tak cemburu pada kisah masa laluku nanti." Begitu yang dulu pernah kubilang pada Dina. Tapi siapa sangka, Allah ya...