Bab 16 Rasa Takut

116K 8.4K 2.3K
                                    

Menaklukkan rasa takut adalah awal dari kebijaksanaan.

-Bertrand Russell-

☀☀☀


Usai salat zuhur berjama'ah di masjid, Nadya dan Nayla memutuskan makan siang di kantin. Kebanyakan yang makan di sana adalah para staf dan pegawai. Santri yang sudah bosan dengan menu yang disediakan oleh pihak pesantren juga diperbolehkan makan di sana.

Sesampainya mereka di kantin, ternyata sudah ramai karena memang waktunya jam makan siang. Mereka yang masih berdiri di ambang pintu kebingungan harus duduk di mana, semua meja dan kursi sudah penuh. Tiba-tiba pandangan Nadya tertuju ke meja yang berada di sudut kantin dan baru ditempati oleh dua orang.

"Nay, kita duduk di sana saja. Kursinya masih ada dua yang kosong tuh!" tunjuk Nadya.

"Jangan, Nad! Kita tunggu saja dulu, mana tahu sebentar lagi ada yang kosong."

"Kelamaan. Ayo!" Nayla terpaksa mengikuti Nadya karena sahabatnya itu sudah berjalan ke arah sana.

Sedang asyik ngobrol sembari menunggu pesanan datang, Adnan dan Fikri tersentak saat kursi di depan mereka berbunyi tanda ada yang menduduki.

"Hai, boleh aku duduk di sini?" tanya Nadya yang sudah duduk di kursi berhadapan dengan Adnan dan hanya dibatasi oleh meja kayu.

Fikri tertawa. "Rasanya terlambat mengatakan tidak boleh. Nadya saja sudah duduk."

"Kalau Ustadz dan Fikri nggak ngebolehin, aku akan duduk juga di sini." Nadya tersengih.

Itu memang kamunya aja yang urat malunya sudah putus, ingin sekali Adnan mengatakan itu pada Nadya.

"Eh, Nay. Kamu nggak mau duduk?" tanya Nadya saat melihat Nayla masih berdiri.

"I... i... iya, Nad," kata Nayla terbata-bata. Ia menempati kursi yang berhadapan dengan Fikri.

"Kamu kok gugup gitu sih, Nay?" tanya Nadya heran. Melihat sahabatnya itu duduk gelisah, Nadya sepertinya paham apa yang terjadi. "Kamu malu ya sama Fikri?" godanya.

"Iiih... kamu apaan sih, Nad?" Nayla sudah blushing digoda Nadya.

"Fikri, lihat deh, pipi Nayla merah tuh! Sepertinya Nayla suka sama kamu."

Fikri melirik ke arah Nayla, sesaat cuma ia kembali menundukkan pandangannya. Sementara Nayla menepuk bahu Nadya karena sudah membuatnya malu di hadapan Adnan dan Fikri.

"Aduh, sakit tahu, Nay! Kira-kira dong kalau mau mukul!" Nadya mengusap-usap bahu yang ditepuk Nayla. "Gini ya, Nay. Kalau kamu memang suka sama Fikri, sebaiknya jujur saja. Nggak usah-usah ditutup-tutupin. Nanti Fikri diambil orang baru kamu nyesel. Coba kamu contoh aku, aku jujur sama perasaanku, tapi dasar Ustadz saja yang sok jual mahal. Aku sudah nyatain cinta nggak dibalas juga sampai sekarang," ujar Nadya panjang lebar.

Adnan geleng-geleng kepala. "Ukhti, bukannya saya mau jual mahal, saya hanya tidak mau mengumbar kata cinta kepada yang bukan mahram karena itu dilarang dalam islam. Sebab hal tersebut dapat memunculkan berbagai tindakan yang kemungkinan besar dapat mengarah pada perbuatan dosa. Boleh saja kita menyatakan cinta kepada orang yang kita cintai, tetapi pernyataan cinta itu harus berlandaskan kepada rasa cinta terhadap Allah. Cinta yang berlandaskan kepada cinta karena Allah sudah pasti jauh dari kata yang mendekati perbuatan dosa."

MENGEJAR CINTA USTADZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang