Kemarahan Ayah

22 2 0
                                    

Aku keluar dari kamar menuju Ruang keluarga di lantai 4. Apakah Ruangan itu pantas disebut Ruang keluarga? Keluarga. Apa itu? Semenjak aku kecil aku tak pernah merasakan kehangatan dan kedamaian dalam sebuah ungkapan Keluarga. Tak perduli betapa berbahagianya orang yang memiliki Keluarga yang utuh. Toh pada akhirnya akan pergi satu persatu. Hubungan yang sangat aneh dan membuatku geli melihat mereka duduk berjam-jam di depan Tungku pemanas ruangan sepanjang malam hanya untuk mendengar cerita sampah. Membagi kisah bersama di balik topeng. Cih. Kehidupan yang membosankan.

Sudah berapa lama aku tidak pernah menginjak kan kakiku disana? Aku lupa. Sebenarnya aku memang tidak mengingat nya.

Aku tidak harus jalan tergesa-gesa menghampirinya. Take it easy. Kulihat Ayah berdiri di depan jendela Float glass yang mengkilat. Menyilangkan tangan di depan dada sembari memunggungiku.

Tingkah yang selalu dia perlihatkan padaku ketika sedang marah. Aku berjalan perlahan, beralih duduk di sofa panjang berwarna hijau tosca polos yang empuk. Sedikit berdehem, memilih diam tak bergeming. Tak menunggu lama hingga ia menyadari kehadiranku.

"Kau pasti sangat puas". Ucap Ayah tanpa berbalik. Aku hanya diam.

"Kau senang?". Hening.

"Jawab pertanyaanku, jika aku bertanya. Kau harus menjawab nya. Mana sopan santunmu! Kau tidak bisu kan?!". Bentakannya bagaikan ngiangan Nyamuk menusuk telingaku. Sama-sama mengganggu dan berisik.

"Hmmm. Aku senang. Aku sangat puas......... Kau puas mendengarnya". Ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

Aku tak membutuhkan jawaban. Kusibukkan diri menatap Vas kristal, tak bergeming di depanku. Benda itu berdiri dengan kaku di atas meja kaca bulat dengan ukiran kaca es yang indah. Sama dengan situasiku saat ini. Kaku. Sebenarnya Vas itu hanya peralihan bagiku. Situasi ini membuatku jengah.

"Apa yang kau inginkan? Pamer kekuatan? Kekuasaan? Menjadi pusat perhatian para Wanita? Mengincar kepopuleran? Atau kau hanya ingin mencemarkan nama baikku? Kau ingin membuatku malu. Hah?!".

"Itu bukan urusanmu. Lagian aku melakukan nya hanya untuk kesenanganku sendiri".

"Oh. Hanya semata-mata untuk kesenanganmu saja". Dari ekor mataku kulihat Ayah berbalik menghadap kearahku.

"Oh come on! Aku bukan lagi anak kecil yang harus tertahan karena peraturankan".

"Lebih baik kau tembak kepalaku saja dengan pistol daripada harus mempermalukanku di luar sana".

"Ck... Aku akan melakukannya suatu saat. Sekarang, bagiku yang terpenting hanya kepuasan".

"Begitukah yang ku ajarkan padamu? Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain! Bersikap kasar pada orang yang lemah! Kenapa kau tak jadi Preman, Pembunuh bayaran atau ikutan gembong Mafia saja!".

"Berhentilah bersikap seolah-olah kau itu yang paling benar. Kau kira kau Ayah yang paling baik? Cih. Kau Ayah paling brengsek yang pernah kutemui. Kau fikir kau lebih baik dariku? Muna' jika kau mengatakan dirimu lebih baik dariku. Kau pulang pun jarang. Lalu apa yang kau ajarkan padaku? Apa?! Kau Ayah yang tak berguna!".

Kepalaku berkedut. Muak. Aku beranjak dari sofa dan bergegas hendak kembali ke kamar. Buang-buang waktu saja berada di sini.

"Kau anak kurang ajar!". Ayah berjalan cepat lalu menarik bahu kiriku dengan kasar dan meninju pipi kananku tanpa aku sempat melihat gerakannya. Kurasa bibirku pecah.........  Yah aku memang sengaja menahan diri. Harusnya kau bersyukur aku masih mengampuni nyawa a***gmu itu.

GREBB....

Ayah memegang erat bahuku sembari menahan emosi yang siap meledak kapan saja......... Hiburlah aku sedikit saja.

The Lost HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang