Tali Persahabatan yang Kuat

929 20 1
                                    

Aliyah's POV
Kalian pasti tahu, jika setiap orang memiliki tali persahabatan. Tali yang bisa putus dan tersambung apabila terjadi sesuatu. Berhati-hatilah, tali persahabatan itu rentan. Jika sudah putus, sulit untuk menyambungnya kembali. Sebaliknya, jika tali tersebut sudah tersambung, akan sulit untuk memutuskan tali tersebut. Kuharap, tali persahabatan antara aku dan Nadhira tak akan pernah putus. Itu adalah salah satu dari sekian banyak doa yang kupanjatkan di sujud terakhirku.

Seperti pada kali ini, ketika aku terjaga pada pukul 03.15 dinihari. Kuputuskan untuk melaksanakan shalat sunnah tahajjud. Segera kuambil air wudhu, lalu kukenakan sebuah mukena putih berenda. Aku melaksanakan delapan shalat tahajjud serta tiga shalat witir.

Aku benar-benar bersungguh-sungguh setiap kali menjalankan shalat sunnah ini. Pada sujud terakhirku, kupanjatkan doaku seperti biasanya. Yang kuucap dalam hati. "Ya Allah... Tetapkanlah iman dan Islam kami... Terimalah amal kami... Dan matikanlah kami dalam keadaan khusnul khotimah... Serta jagalah tali silaturrahim hambamu ini Ya Allah..." Aku bangkit dari sujud terakhirku.

Kubaca doa tasyahud akhir. Bersungguh-sungguh. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Assalamu'alaikum warahmatullah..." salamku. Selesai sudah tahajjudku hari ini. Aku masih berdoa beberapa lama setelah salam. Tapi, sebuah suara menghancurkan konsentrasiku.

"Assalamu'alaikum..." Suara berat yang kukenal, ada di depan pintu rumahku. Suara kakak laki-lakiku! Aku bergegas membuka pintu. "Kak Ali!" Aku menyambut kakakku dengan antusias. "Hai, Dek. Belum tidur kamu?" tanya kakakku, Kak Ali.

"Gak sengaja bangun, Kak." jawabku asal. "Kamu tidur pake mukena, Dek?" Kak Ali tertawa. "Aku habis shalat tahajjud, tau!" Aku meninju lengan Kak Ali pelan. "Eh, Kakak kok pulang dari Riau gak bilang-bilang, sih?" tanyaku heran. Kak Ali memang bekerja di Riau. "Sebenarnya tadi Kakak males pulang, karena ada kamu di rumah. Tapi tadi Kakak dapet tiket pesawat dari temen. Riau-Jogjakarta. Rejeki tuh!" Kak Ali tertawa iseng.

"Dasar!!! Sana ah... Balik Riau aja!" omelku. "Iya, iya... Kalo kamu marah nanti Kakak yang repot. Diusir dari sini, mau tinggal dimana coba?" tawa Kak Ali. "Duh... Berisik apa sih?" Ummi tergopoh-gopoh turun dari kamarnya di lantai dua. "Lho, Ali?!" Ummi tampak terkejut. Beliau spontan memeluk Kak Ali. "Kok gak bilang, Nak, kalo mau pulang?"

Pertanyaan yang diajukan sama dengan pertanyaanku tadi. "Masa tadi Kak Ali bilang, males pulang gara-gara ada aku di rumah, Mi!" laporku tak terima. Ummi tergelak. "Wah... Mentang-mentang dari luar kota Ali jadi sombong, nih!" canda Ummi. "Bukan gitu, Mi. Ali takutnya nanti Aliyah iri sama Ali, Mi!"

Puk! Kak Ali menepuk bahuku. "Ya sudah. Kita masuk dulu. Takut menggaggu tetangga nantinya." Ummi mengajak kami masuk. Aku segera merapikan sajadah dan mukenaku. Lalu, kami bertiga bebincang-bincang sambil menunggu Abi bangun.

Mungkin Abi kelelahan, karena kemarin Abi lembur di kantornya. Hingga menjelang adzan Subuh, Abi baru turun ke ruang keluarga tempat kami berkumpul. "Assalamu'alaikum, Abi!" sapa Kak Ali. "Ali! Kapan kamu datang, Nak?" tanya Abi antusias.

Author's POV
Mereka berempat sibuk bercanda hingga tiba waktu Subuh. "Abi sama Kak Ali ke masjid, ya, Mi, Dek." pamit Abi. Aliyah dan Ummi mengiyakan. Aliyah shalat berjamaah dengan Ummi, lalu bertadarus Al-Qur'an sebentar.

"Shadaqallahul 'adzīm." Aliyah menutup Al-Qur'annya, lalu bersiap-siap untuk sekolah. Merapikan bukunya, menyiapkan seragamnya, serta menata bekalnya. Hari ini, Ali berjanji akan mengantar Aliyah ke sekolah.

Pukul 06.15. Ali dan Aliyah segera menyelesaikan sarapannya. "Kami berangkat Mi, Bi." pamit Aliyah. Mereka meluncur dengan mobil Kak Ali, menuju SMANSA, sekolah tokoh utama kita. Ternyata Aliyah telah ditunggu di depan kelasnya oleh seseorang, pengancam Aliyah.

"Aku pulang, ya! Jangan kangen!" kata Ali. "Ih... Kangen apaan... Yang ada muak aku, Kak!" Aliyah meninju lengan Ali. Ali tertawa karena itu. Aliyah segera meninggalkan kakaknya yang (menurut Aliyah) menyebalkan itu.

Sampai di kelas, Aliyah dihadang oleh seorang perempuan berambut panjang. Novita, bad girl-nya kelas 11 IPA 1. Deg...deg...deg... Jantung Aliyah berdetak lebih cepat. Tangannya meremas ujung kerudung. "Maaf, Novita. Permisi." pinta Aliyah takut-takut. Suasana hatinya semakin kalut karena yang datang sepagi itu hanya dirinya serta yang ada di hadapannya, Novita.

"Mau lewat? Ada syaratnya, lho!" Novita tersenyum jahat. "Apa itu?" tanya Aliyah. "Siapa yang nganter lo tadi?!" bentak Novita. "Dia... Kakakku..." jawab Aliyah. Suaranya bergetar. "Oh... Kakak lo, ya. Gue kira dia pacar lo. Gue kira juga, sifat alim yang lo tunjukin itu pura-pura," cibir Novita. "Tidak. Aku tidak sedang berpura-pura." tanggap Aliyah tegas.

"Asal kau tahu ya, aku tidak sedang berpura-pura sekarang. Aku juga berusaha menjauh darimu. Sejauh-jauhnya. Karena aku tak mau jadi bad girl sepertimu. Pakai baju-baju kurang bahan, pakai make up lebay dan berlebihan, atau pakai sepatu yang katanya modis padahal cuma bikin ngeri kalo liat. Tapi, aku cuma mau sekolah. Jangan halangi aku!"

Kali ini, Aliyah benar-benar tak tahan. Selama ini, Novita selalu mengintimidasinya. Katanya, karena Aliyah itu culun. Sekarang, giliran Novita yang terkejut. "Ooh... Sekarang cewek culun berani, ya! Lo tau kan, gue tuh penguasa di kelas ini! Lo tuh gak level aja sama gue. Gue itu tinggi, dan lo tuh rendah!" omel Novita dengan nada menantang.

AliyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang