Aliyah melangkahkan kakinya memasuki kelas. Kelasnya sudah dipenuhi oleh murid, dan ia menjadi yang terakhir masuk.
Aliyah mengucap salam pelan, masih belum bersemangat memulai harinya. "Eh, Aliyah, kenapa telat? Tidak biasanya." Ibu Safira mendekati Aliyah.
"Saya berdoa di makam Ummi dulu, Bu. Jarak makam Ummi dengan sekolah jauh. Saya menghabiskan 15 menit untuk sampai ke sini." jelas Aliyah rinci.
"Ummi kamu meninggal?!" tanya Ibu Safira tak percaya. Matanya membulat, tangannya meletakkan buku yang ia bawa ke meja.
"Ummi kecelakaan. Pelakunya tidak bertanggung jawab, Bu. Tadi malam Ummi meninggal, lalu tadi pagi pukul 05.30 dimakamkan." jelas Aliyah. Aliyah tak sadar, ada seseorang di ujung sana yang tengah menahan napas karena perbuatannya nyaris ketahuan.
"Kenapa Allah mengambil dia secepat itu? Padahal, dia benar-benar orang yang sifatnya mendekati sempurna." tutur Ibu Safira, menahan air matanya. Memang, Ibu Safira adalah sahabat Ummi.
"Aliyah, pulang sekolah nanti, antar Ibu ke makam Ummi, ya?" pinta Ibu Safira. Aliyah mengangguk. Sekilas, ia mendengar bisikan Ibu Safira. "Allah tahu yang terbaik."
Aliyah hanya tersenyum tipis, melanjutkan langkahnya menuju bangku kosong di samping Nadhira.
"Sudah lebih baik?" sambut Nadhira. Aliyah tersenyum, menanggapi singkat, "Sedikit."
Diletakkannya tas yang ia bawa ke bangku kosong tersebut. "Eh, kok, Nadhira pindah ke sini lagi?" tanya Aliyah heran. "Enggak boleh, ya?" Nadhira tertawa kecil.
"Jelas boleh, lah!" Aliyah segera mengeluarkan buku Bahasa Indonesia dari dalam tasnya. Nadhira tertawa melihat reaksi sahabat masa kecilnya tersebut.
"Mari kita doakan Ummi Aliyah bersama-sama, agar beliau diberi kenyamanan dan ketenangan di sisi-Nya." Ucapan Ibu Safira barusan berhasil menghentikan tawa Nadhira yang tak kunjung reda.
Semuanya menundukkan kepala, mendoakan Ummi Aliyah dengan caranya masing-masing. Di bangku ujung sana, seseorang yang telah menegang sedang berusaha tenang. Namun, apa dayanya jika sebentar lagi kebenaran akan terkuak?
"Berdoa selesai." Ibu Safira mengakhiri doa. "Terima kasih, Teman-teman. Semoga Allah membalas perbuatan kalian. Allah MahaAdil bukan?" Aliyah berterima kasih pada teman-temannya, berdiri sebentar dari duduknya.
Deg!
Mampus! Gue baru inget Allah itu MahaAdil! Kalo Mama jadi kecelakaan, terus meninggal, seperti kejadian Umminya Aliyah tadi malam gimana? Tobat gue!
Ucapan singkat Aliyah barusan ternyata dapat membuat hati sang pelaku kecelakaan pada Ummi diselimuti rasa takut dan khawatir.
Kembali ke Aliyah, gadis itu baru saja meletakkan kepalanya di atas meja, beralaskan kedua tangannya yang dilipat.
"Ummi, Aliyah pusing nih. Kalo Aliyah pusing, nanti yang pijitin Aliyah siapa dong? Ummi kan udah tenang, sama Allah. Tapi Ummi bikin Aliyah sedih, Mi. Ummi tau nggak? Tadi Ummi di doakan teman-teman, lho, Mi. Ummi udah bahagia belum disana? Semoga udah, ya, Mi. Yaaa... Walaupun Aliyah sedih, sih. Yang penting Ummi bahagia di sana. Tenang sama Allah. Semua permintaan Ummi pasti akan terkabul." oceh Aliyah.
"Al, ngomong apa? Sama aku?" tanya Nadhira, mencolek bahu Aliyah. "Hm? Oh, enggak, Ra. Aku lagi cerita sama Ummi. Nadhira enak, ya. Masih ada Bunda. Masih ada Ayah. Masih punya orang tua lengkap." Aliyah mengangkat kepalanya.
Mendadak, kedua mata Nadhira berkabut. "Ya Allah, Al. Kamu bisa anggap Bunda sebagai ummi kedua kamu, kan?" tuturnya. Susah payah Nadhira menahan air matanya agar tidak jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliyah
RandomNamanya Aliyah. Dibalik senyum manisnya, ternyata ia menyimpan sebuah penderitaan. Mirisnya, semua penderitaan itu justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Menghadapi semuanya, Aliyah harus kuat bukan? Ya, Aliyah kuat!