Pagi yang cerah di hari Minggu. Aliyah sudah siap dengan celana training dan kaus putih berlengan panjang. Ia juga mengenakan kerudung abu-abu. Hari ini, ia akan jogging bersama Nadhira.
"Aliyah!" Tiba-tiba, suara Nadhira mengejutkan Aliyah. "Eh, Ra. Udah lama?" tanya Aliyah. Jemarinya meraih ponsel dan earphone miliknya. "Belum kok. Yuk, keburu siang." Nadhira menarik tangan Aliyah.
"Abi, kami berangkat, ya." Keduanya bergantian menyalami Abi. "Hati-hati." pesan Abi. "Siap, Abi! Assalamu'alaikum!" salam mereka berdua. "Wa'alaikum salam..." jawab Abi sambil tersenyum geli melihat tingkah sepasang sahabat di hadapannya.
Kedua gadis itu sudah berada di taman sekarang. Mereka duduk di bangku taman. Mengamati keadaan taman yang semakin ramai. Sembari mengatur napas agar tidak cepat lelah.
"Tadi aku cuma sahur sedikit." lapor Nadhira. Aliyah justru tertawa, lalu menanggapi, "Udah laper sekarang?" "Belum, lah!" sanggah Nadhira. "Eh, Ra, aku mau tanya dong!" Nadhira menatap Aliyah bingung. "Tanya aja."
"Kenapa kamu logat bicaranya berubah-ubah?" tanya Aliyah. "Maksudnya?" Nadhira mengernyitkan keningnya bingung. "Ya, kalo ngomong sama aku pake aku-kamu, kalo sama yang lain lake lo-gue." Aliyah menjelaskan singkat. "Karena kamu sahabatku. Aku ngomong pake logat aku-kamu cuma sama orang terdekatku." tutur Nadhira sambil tersenyum.
"Hai." Sebuah suara membuat Aliyah dan Nadhira mendongakkan kepala mereka. "Ngapain lo di sini?" tanya Nadhira ketus. Jelas saja, yang ada di hadapan mereka adalah Vania.
"Gimana mommy lo?" Vania mengangkat dagu Aliyah kasar. "Ummi sudah meninggal, Van. Aku mohon jangan bahas Ummi lagi." mohon Aliyah. Vania justru tertawa keras.
"Jadi mommy lo mati?" simpulnya. Aliyah dan Nadhira sontak berdiri. "Lisannya dijaga dong, Van!" bentak Aliyah. "Kenyataan, kok!"sanggah Vania dengan senyum sinisnya. "Lo gila, ya? Gak bisa banget sih, jaga perasaan orang!" Kali ini, Nadhira yang membuka suara.
"Ya udah, Ra. Ini orang emang gila. Kita pergi aja." Aliyah menarik tangan Nadhira. Tentu saja untuk menghindari perdebatan mereka. Baru saja dua langkah mereka berjalan menjauh, Aliyah tiba-tiba memeluk Nadhira erat. "Ra..." isaknya.
"Iya. Aku tau. Sabar, ya." Nadhira mengusap sekilas punggung Aliyah yang berguncang pelan. Aliyah hanya dapat mengangguk, mengusap jejak air matanya. Keduanya lalu melanjutkan langkah mereka.
"Eh, hujan, Al!" Benar saja. Gerimis mulai membasahi kerudung dan baju mereka. "Di sana ada gazebo. Ke sana saja!" ajak Aliyah. Dengan langkah seribu, mereka menuju ke gazebo taman tersebut.
"Eh, Ra, itu bukannya adik kelas, ya?" Tangan Aliyah menunjuk tempat berdirinya seorang gadis berambut cokelat tua. Gadis itu bersandar di tembok putih, menundukkan kepalanya.
"Aku nggak tau, Al. Samperin aja, yuk." ajak Nadhira. Aliyah mengangguk sebagai jawaban. Mereka berjalan mendekati gadis itu. "Memang iya!" seru Aliyah tiba-tiba. "Ya udah. Coba kamu sapa." suruh Nadhira.
"Ehm. Sepertinya aku kenal kamu." Suara Aliyah terdengar sedikit lebih keras. "Lo siapa?" Gadis itu mengangkat kepalanya. "Anak SMANSA, kelas 11 IPA 1." jawab Nadhira singkat. "Ooh. Kakak kelas gue." simpul gadis itu. "Nama kamu siapa?" tanya Aliyah.
"Gue Karin, Kak." Gadis bernama Karin tersebut memasang senyum manisnya. "Ini hujan. Kita duduk di dalam gazebo saja." ajak Aliyah. "Boleh."
Akhirnya, mereka bertiga duduk di dalam gazebo taman. Bercerita tentang apa pun. "Lo kelas berapa?" Nadhira memulai percakapan. "Gue kelas 10 IPS 4, Kak. Kelasnya Bu Ghina." jawab Karin.
"Dan fyi, gue ini adiknya Vania. Musuh lo berdua, kan?" Karin tersenyum kecil. "Bukan musuh juga, kok. Maaf kalo itu bikin kamu nggak suka sama kami." cetus Aliyah. Karin justru tertawa.
"Gue di pihak lo. Gue bener-bener nggak suka sama bocah nggak tau diri itu." Karin melempar pandangan ke luar gazebo. "Lho, kenapa?" tanya Aliyah bingung. "Gue yakin kalian bisa jaga rahasia. Vania itu putri angkat di keluarga kami."
Nadhira memperpendek jarak antara dirinya dengan Karin. "Lo nggak bohong, kan, Rin?" tanyanya. "Enggak. Gue jujur sejujur-jujurnya. Gue mohon, jaga rahasia besar ini." pinta Karin.
"Secepat itu kamu yakin pada kami? Kita baru saja bertemu, lho." tegur Aliyah. "Gue tau kalian bisa jaga rahasia." senyum Karin. "Oke. Makasih udah percaya sama kita."
"Dan gue harap, kalian bisa jaga jarak sama dia aja." Karin meluruskan kakinya, lantas duduk bersila setelah melepas sepatu casual putihnya. Ia mengabaikan tatapan heran kedua gadis di hadapannya.
"Lo nyaranin itu?" Nadhira menatap Karin dengan heran. Gadis itu, gadis yang tak bisa dimengerti oleh pikiran Aliyah pula. Aliyah menatap lekat kedua bola mata Karin.
"Iya. Gue sangat menyarankan." tanggap Karin penuh penekanan. "Kenapa, sih, Rin?" Kali ini, Aliyah yang berbicara. "Dia udah ngambil semua hak gue." jelas Karin singkat. Ia membuang pandangannya kemana pun.
"Hak?" tanya Aliyah bingung. "Iya, hak. Bahkan kakak kandung gue sekali pun." Sekarang, pandangan Karin lurus ke arah Aliyah. Glek! Apa maksudnya?
"Oke, Rin. Boleh gue tau, gimana jalan ceritanya?" tanya Nadhira halus. Karin menghela napas panjang, lalu memulai kisahnya.
Flashback On
"Pa, Karin denger, ada kecelakaan, ya, Pa?" tanya Karin sambil duduk di samping papanya. "Iya, Rin. Itu teman Papa." jawab papanya sendu. Karin terbelalak kaget. "Benar, Pa?" Papa hanya mengangguk lemah.
"Semua anggota keluarganya meninggal." Karin membenarkan posisi duduknya begitu mendengar ucapan papanya barusan. "Karin, boleh Papa tanya?" Papa menatap Karin lekat.
"Silakan, Pa." "Kalau Papa dan Mama mengangkatnya menjadi kakakmu bagaimana?" Pertanyaan itu menembus telinga Karin. Ia terkejut bukan main. Belum sempat ia bersuara, papanya kembali berbicara. "Pikirkan baik-baik, Nak. Ini keputusan besar. Besok, Papa akan minta jawaban kamu." Papa mengusap puncak kepala Karin, lalu beranjak.
"Papa ke kamar dulu, ya." Karin dapat bernapas lega melihat senyuman Papa barusan. Tapi, pertanyaan tadi mengusik dirinya terus. Malam ini, otak dan hatinya perlu bekerja sama.
Karin berdiri, berjalan ke kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya, lalu memandang foto keluarga yang dipajang besar dalam bingkai hitam. Ada Papa, Mama, Kak Hana, dan dirinya dengan baju batik cokelat.
"Mungkin akan terlihat lebih lengkap jika ditambah Kak Vania." gumamnya. "Apakah kehadiran Kak Vania dapat mengubah sesuatu?" Keraguannya muncul kembali. "Tapi, sepertinya Papa sangat menginginkan Kak Vania menjadi kakakku."
"Baiklah. Aku akan menyetujui permintaan Papa." Setelah memutuskan, Karin beranjak tidur tanpa tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliyah
RandomNamanya Aliyah. Dibalik senyum manisnya, ternyata ia menyimpan sebuah penderitaan. Mirisnya, semua penderitaan itu justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Menghadapi semuanya, Aliyah harus kuat bukan? Ya, Aliyah kuat!