Aliyah mendadak pingsan di tempat. Semua orang menatapnya terkejut. "Ali, cepat panggilkan perawat, Nak!" seru Bunda Nadhira panik. Ali bergegas berlari meninggalkan ruangan.
Alif memindahkan Aliyah ke sofa di samping ranjang Ummi. Abi hanya menatap dengan tatapan kosong. Tanpa sengaja, air matanya mengalir perlahan.
Abi merasa dunia tengah membalaskan dendamnya. Ketika Ummi sedang menyeberang jalan, sebuah mobil yang melaju kencang menabrak Ummi, lalu pergi begitu saja. Kini, Ummi tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sementara putri satu-satunya pun sudah dalam keadaan tak sadarkan diri.
Nadhira melangkah mendekati Aliyah yang tengah terpejam. Ia mengusap lembut jemari Aliyah, menautkan jari-jari lentiknya di sana.
Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Aliyah. Berbisik. "Aliyah, maafkan aku. Aku pernah terhasut oleh omong kosong Novita. Aku mohon maafkan aku..." Suara lembut Nadhira menembus indra pendengaran Aliyah.
"Untuk menepati janjimu pada Ummi, sadarlah. Aku tahu, kamu pasti kuat. Ummi baik-baik saja." bisiknya sekali lagi.
Nadhira terisak di samping tubuh Aliyah. Memeluknya erat. Tanpa ia sadari, bibir Aliyah menggurat senyum, meskipun sangat tipis.
Nadhira masih dengan posisi memeluk Aliyah ketika perawat datang. Ali masuk ke ruangan, memindahkan Aliyah ke atas ranjang yang dibawa perawat.
Nadhira, Ali, dan Alif mengikuti Aliyah sampai ke ruangan tempat ia diperiksa. Mereka menunggu Aliyah di kursi tunggu, depan ruangan Aliyah.
Mereka menunggu dengan harap-harap cemas. "Ya Allah... Lindungi Aliyah, Ya Allah... Hamba mohon..." Nadhira segera berdoa dengan diiringi deraian air mata.
"Tenanglah. Dia akan baik-baik saja." celetuk Alif tiba-tiba. "Semoga." timpal Ali. Tak lama setelah perbincangan kecil tersebut, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut.
"Dokter!" Nadhira segera bangkit dari duduknya. "Bagaimana keadaan Aliyah?" tanyanya. "Dia baik-baik saja. Apakah anda keluarganya?" Dokter berhijab bernama Terra tersebut memasukkan tangan ke kedua saku jas putihnya.
"Iya, saya sahabatnya." jawab Nadhira. Ali dan Alif juga ikut berdiri untuk menanyakan keadaan adik perempuan mereka.
"Hm." Dokter Terra menghela napas perlahan. Membuat jantung ketiganya berdetak cepat. "Dia baik-baik saja. Jangan khawatir. Dia terlalu lelah. Biarkan dia istirahat." jelas Dokter Terra. "Terima kasih, Dok." ucap Nadhira.
"Dokter, boleh kami melihat keadaan Aliyah?" tanya Alif. "Silakan. Tapi, biarkan dia beristirahat. Saya permisi." Dokter itu meninggalkan ketiganya di lorong sepi ini.
Mereka bergegas masuk ke ruangan 206. Tampak Aliyah terbaring di sana. Ali mengusap puncak kepalanya. "Kamu kuat, Dek." Senyum tipisnya mengembang.
"Eh, kita sudah shalat maghrib?" tanya Alif tiba-tiba. "Astaghfirullah... Belum!" tanggap Nadhira. "Ya sudah. Kita shalat di sini saja. Nadhira ada mukena, kan?" tanya Ali. "Enggak, Kak. Tapi Nadhira bawa kaus kaki, kok." jawab Nadhira.
Alif segera menggulung lengan bajunya, bergegas berwudhu. Lalu disusul Ali, selanjutnya Nadhira. Mereka shalat berjamaah di samping ranjang Aliyah.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Assalamu'alaikum warahmatullah...." salam Ali. Shalat maghrib selesai. Nadhira melempar pandangan ke arah Aliyah.
Ia sangat terkejut. Ternyata, Aluyah sudah membuka mata bulatnya. "Aliyah?" Seruan Nadhira membuat kedua kakak laki-laki Aliyah ikut melempar pandangan ke arah Aliyah.
Benar yang dilihat Nadhira. Aliyah telah sadar. Aliyah tengah menggerakkan kedua tangannya. "Aliyah shalat, Kak." Nadhira kembali berkata, memelankan suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliyah
RandomNamanya Aliyah. Dibalik senyum manisnya, ternyata ia menyimpan sebuah penderitaan. Mirisnya, semua penderitaan itu justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Menghadapi semuanya, Aliyah harus kuat bukan? Ya, Aliyah kuat!