Fitnah!

203 11 0
                                    

Nadhira❤
Gue cuma mau bilang, kalo gue mau pindah kelompok belajar. Kelompok Novita kekurangan anggota tuh. Cari aja sana temen lain yang cocok sama lo. Asal dia tahan aja difitnah-fitnah sama lo.

Difitnah-fitnah? Apa maksudnya? Aku merasa tak pernah memfitnah dia. Ya Allah... Apa lagi ini? Mungkin, Novita menghasut Nadhira? Astaghfirullah...

Me
Baiklah, terserah kamu saja. Terima kasih.

Kumatikan ponselku. Tapi, apa yang dimaksud "difitnah-fitnah", sih?

Sudahlah. Aku mencoba memejamkan mata. Rasanya aku lelah sekali hari ini.

Author's POV
"Apa aku harus mengklarifikasi hal ini pada Aliyah?" gumam Nadhira. Ia semakin gelisah. "Tapi dia keterlaluan. Bodo amat, lah!"

Gadis tujuh belas tahun tersebut memasang ear phone-nya kembali, sibuk mendengarkan lagu favoritnya. Ia menarik sebuah novel berjudul "Apa Kamu Temanku?" dari rak buku dekat jendela.

Deg... Buku pemberian Aliyah masih tersimpan rapi di rak bukunya. Nadhira melepas ear phone, lalu mengusap lembut buku tebal tersebut sebelum meninggalkannya di atas meja belajar.

"Bunda! Dimana?" tanya Nadhira. Ia membetulkan hijabnya, berlari kecil menuruni tangga. "Di dapur, Nak!" sahut bunda Nadhira.

Nadhira bergegas menghampiri Bunda di dapur. "Masak apa, Bun?" tanyanya. "Masak sayur bayam." jawab Bunda, singkat. "Eh, Nadhira, berhubung minggu ini kamu libur, kita akan berlibur." tutur Bunda.

"Hah? Sama siapa, Bun?" Mata Nadhira membulat. "Kok kaget kaya gitu?" tanya Bunda heran. "Iya, lah. Gimana gak kaget, orang kita gak pernah kita liburan!" dengus Nadhira. "Selaluuu saja aku dan Kak Elia disibukkan oleh tugas-tugas sekolah yang gak bermutu." Bunda tertawa kecil mendengarnya.

"Kali ini, kita akan liburan bersama keluarga Aliyah." kata Bunda lembut. Senyumnya tampak hangat. "Keluarga Aliyah, Bun?" "Iya. Menyenangkan, kan?" tanya Bunda. Nadhira cepat-cepat mengangguk, mengiyakan. Ia tak ingin Bunda tahu yang sebenarnya sedang terjadi.

"Ya sudah. Siapkan barang-barangmu. Kita berangkat besok. Bunda sudah bilang pada keluarga Aliyah, kok!" Nadhira bergegas berlari menaiki tangga.

"Aduh... Bagaimana ini? Aku takut Bunda tahu apa yang sedang terjadi!" keluh Nadhira. Ia mengempaskan tubuhnya ke ranjang. "Kurasa ini bukan ide yang bagus!"

"Apa yang terjadi?" Deg... Suara Elia seakan membuat jantung Nadhira berhenti berdetak. Kakak perempuannya ternyata memdengar apa yang Nadhira katakan dari balik pintu. Betul, Elia, musuh terbesar Nadhira di rumah.

"Bukan urusan Kakak tau!" tanggap Nadhira ketus. "Sejak kapan kamu mempunyai urusan sendiri?" cibir Elia. "Jangan basa-basi. Pergilah dari sini, jangan ganggu aku lagi!" usir Nadhira. "Oh, diusir nih? Gak papa sih, tinggal bilang sama Bunda kok, kalo kamu lagi musuhan sama Aliyah." Elia tersenyum simpul.

"Kita gak musuhan, Kak!" Nadhira mencoba mengamankan rahasianya kembali. "Kakak dengar semuanya. Kakak baca tulisan kamu di buku Bahasa Inggris bagian belakang." tutur Elia santai. "Darimana Kakak dapatkan bukuku?" Nadhira bangkit dari duduknya. "Kakak mencuri, ya?" tuduh Nadhira.

"Eh, eh, jangan salah sangka. Kakak menemukannya di meja belajarmu waktu Kakak mau minjem komikmu. Buku itu terbuka. Iseng-iseng, Kakak melihat-lihat nilaimu. Ternyata jeblok-jeblok." Elia tertawa, yang ditanggapi omelan oleh adiknya.

"Sampai di bagian belakang buku, Kakak menemukan tulisanmu. Pokoknya, isinya kekesalanmu pada Aliyah." Puk... Sebuah bantal mendarat di wajah Elia. "Gak akan kubilangin ke Bunda kalo kamu traktir aku es krim di kedai dekat taman." Elia melemparkan bantal itu ke Nadhira, lagi.

"Iya, iya. Demi rahasiaku, deh!" tanggap Nadhira mengalah. Ia tahu, semenyebalkan apa kakaknya itu. "Masih punya rasa kemanusiaan, ya, ternyata?" sindir Elia.

"Traktiran batal." celetuk Nadhira. "Rahasia tersebar." tambah Elia sambil cekikikan.

"Iye iye..." Nadhira segera menyambar kerudung birunya, lalu bergegas mengajak Elia ke kedai es dekat taman.

Aliyah's POV
Aku terjaga pukul 15.15. Segera aku bangkit, ketika menyadari ada yang mengetuk pintu kamar. "Iya, sebentar!" Aku bergegas mengenakan kerudung abu-abuku, lalu membukakan pintu.

"Eh, Ummi. Aliyah ketinggalan shalat Ashar di masjid, ya?" "Iya. Ummi mau membangunkan Aliyah barusan. Ya sudah, kita turun, yuk!" ajak Ummi. Aku berjalan di belakang Ummi, yang berjarak sekitar dua langkah.

"Aliyah shalat dulu, terus kita lihat-lihat daerah sini." kata Ummi. Aku bergegas mengambil air wudhu, lalu menggelar sajadah di lantai kamar Nenek.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Assalamu'alaikum warahmatullah..." Aku membenarkan posisi dudukku. "Ya Allah... Berikanlah kekuatan dan kemudahan untuk hamba, Ya Allah. Hasbunallah wa ni'mal wakiil. Selalu berikan kesabaran untuk hambamu ini, Ya Allah. Engkaulah yang Mahatahu, Maha Melihat. Berikanlah pencerahan pada hamba Ya Allah... Aamiin..." Segera kulipat mukena dan sajadah merah tersebut.

"Oi... Aliyah!" panggil Kak Ali, begitu aku sampai di halaman belakang rumah Nenek. "Apaan?" Aku menatap Kak Ali sekilas, lalu meluaskan pandanganku ke pegunungan di belakang rumah Nenek. Udaranya sejuk sekali.

"Temani aku keliling-keliling, yuk!" ajak Kak Ali antusias. "Yuk!" sambutku senang. Aku dan Kak Ali berjalan-jalan, mengelilingi desa Nenek.

"Disini enak, ya, Kak. Udaranya sejuk, pemandangannya indah pula. Pengen tinggal di sini." celetukku. "Iya, sih. Tapi, kalo kamu tinggal di sini, aku tetap di rumah aja. Males." Kak Ali tertawa lebar. "Huuuu... Kak Ali memang orang paling nyebelin! Kak Ali langsung balik ke Riau aja pulang dari sini!" Aku mendorong Kak Ali menjauh.

"Iya, deh. Ngalah aja. Maklum aja sih, sama yang labil!" ejek Kak Ali. "Eh, kok labil?" "Coba, pilih. Biru atau hijau?" Kak Ali tertawa lagi. "Biru, lah! Eh, hijau sih! Nggak, biru aja! Aduh... Biru atau hijau, ya?" Aku masih berpikir, membuat orang menyebalkan di sampingku terus-terusan mengejekku.

"Both!" seruku akhirnya. "Tuh, labil, kan!" Kak Ali mengangkat kedua tangannya. "Aku menang!" lanjutnya. "Weh, cuma menang gitu aja bangga, sih!" cibirku. "Ngiri yak?" "Nganan aja Aliyah mah. Orang beriman nih!" candaku. Kak Ali menepuk pelan puncak kepalaku.

"Nggak sopan, oi!" protesku. "Nih, ya, kalo Kakak pegang kepalaku, nanti aku terkontaminasasi!" Aku kesulitan mengucap kata terakhirku. "Terkontaminasasi tuh apaan?" Kak Ali tampak menahan tawa. "Tercemar! Dasar kudet!" Aliyah menepuk lengan Kak Ali.

"Ada juga terkontaminasi! Jangan nambah-nambahin suku kata, dong! Lagian aku nggak kudet!" Aku tertawa mengetahui kesalahanku dalam mengucap terkontamisasi, eh terkontaminisi, eh? Apa tadi? Terkontaminasi? Ya, itu.

Setidaknya, sehari di rumah Nenek dapat membuatku melupakan kesedihanku, walaupun hanya sementara.

Terima kasih Kak Ali, Kak Mayra.

AliyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang