"Yuk, Rin!" ajak Delia. "Oh, ayo." Karin buru-buru memasang sepatunya, lalu mengikuti Delia yang sudah berjalan lebih dulu. "Nonton sekarang aja?" tawar Karin. "Gak papa. Terserah lo aja." Delia tersenyum.
"Ya udah, yuk!" Keduanya berjalan beriringan sampai ke bioskop. "Gue booking dulu. Beliin pop corn ya." Karin terkekeh. "Yeee... Gak papa, sih. Asalkan nontonnya lo bayarin, gue beliin tuh pop corn." tanggap Delia dengan tawa yang lebih ringan.
"Ya udah, serah lo aja. Yang penting beliin gue pop corn." Karin mendorong pelan bahu Delia, yang saat ini mencubit lengan Karin. "Eh! Gue nonton sendiri! Bayar sendiri lo!" canda Karin. Dilihatnya Delia yang menjulurkan lidah, mengejeknya.
Karin terkekeh pelan, lalu segera booking tempat duduk. "Dua, Mbak. Di sini, sama sebelahnya." pesan Karin. "Baik, Mbak." "Gece lah Mbak. Pegel gue berdiri." ceplos Karin. Perempuan di hadapan Karin tampak menatap aneh, lalu cepat-cepat menyerahkan tiket. "Terima kasih." lirihnya.
Karin tertawa sendiri, melihat tatapan si Mbak padanya. "Del!" panggil Karin. Delia tampak sedang bermain ponsel di salah satu bangku tunggu. "Udah balik aja lo." komentar Delia datar.
"Gitu lo ya. Udah gue traktir makan, udah gue ajak nonton, gue bayarin, lah lo kaya gitu! Gak guna!" Karin menjitak kepala Delia. "Sakit, woy! Lagian, gue gak minta traktir lo! Lo yang pengen!" Delia berlari menghindar, sambil menyeringai kepada Karin.
Karin tertawa, memilih duduk di tempat Delia tadi. "Duduk gak Del? Masih banyak yang antri buat duduk sama gue lho!" seru Karin. "Yeee... GR-nya kumat!" Delia berjalan mendekati Karin.
"Eh... Emang pens gue mah dimana-mana!" kilah Karin, masih dengan tawanya yang berderai. "Yah..." desah Delia. "Hm? Kenapa?" Karin menatap Delia yang tampak tersenyum padanya. "Seenggaknya lo udah bahagia sekarang." jawab Delia tulus.
"Makasih, Del." Delia mengangguk, melebarkan senyumnya. "Oh, iya. Jangan lupa lho!" celetuk Karin tiba-tiba. "Paan?" tanya Delia bingung. "Jangan lupa dateng ke fansign gue." Karin menjulurkan lidahnya. "Amin!" tanggap Delia kesal. "Makasih, lho, udah diaminin!"
"Ini bocah kagak ada serius-seriusnya, ya!" Pletak! Delia menjitak kepala Karin keras. "Sakit, Bro!" "Ya maap. Lagian gue bukan brother lo." sanggah Delia santai.
Tak lama setelah adegan jitak-menjitak, pintu teater empat dibuka. "Yuk, masuk. Kita di atas. Biar keliatan." Karin bangkit, menarik tangan Delia. "Yeee... Bentar, kali." cegah Delia.
"Lagi apa, sih?" tanya Karin, kepo. "Lagi update status." Delia terkekeh. "Gila lo! Ayo, ah. Ya udah sih kalo gak mau. Biar dapet dua kursi gue. Kan lumayan." Karin berjalan meninggalkan Selia yang masih sibuk mengutak-atik ponselnya.
"Iya, deh. Ngalah gue sama yang lebih jelek." kata Delia akhirnya. "Bayar sendiri. Gantiin uang gue tadi. Pas gue nraktir lo juga. Balikin!" tanggap Karin santai. "Elah! Becanda juga! Sensitif amat, Mbak!" protes Delia, yang disambut oleh tawa keras Karin.
"Makanya, ayo!" Karin menarik tangan Delia, duduk di kursi paling atas. "Keren lo milih tempat ya!" cetus Delia, terkekeh. "Siapa dulu, dong! Gue!"
Keduanya menikmati film, hingga Karin tak sadar, Mama meneleponnya berulang kali. "Duh... Karin benar-benar tidak bisa dihubungi! Padahal udah berapa lama dia pergi." keluh Mama di seberang sana. Ketika tulisan END terpampang jelas di layar, Karin baru mengecek ponselnya.
"Mati gue! Mama nelpon gue berapa kali!" gumam Karin gelisah. "Kenapa?" tanya Delia. "Nyokap. Nelpon gue sembilan belas kali." Karin membuang napas kasar.
"Pulang sekarang. Jangan kemana-mana. Itu aja dari gue. Wassalam." gurau Delia. "Lo, kena jitakan gue sekali lagi, benjol kepala lo segede bakpao!" ancam Karin. "Aamiin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliyah
RandomNamanya Aliyah. Dibalik senyum manisnya, ternyata ia menyimpan sebuah penderitaan. Mirisnya, semua penderitaan itu justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Menghadapi semuanya, Aliyah harus kuat bukan? Ya, Aliyah kuat!