Aliyah's POV
Waktu pulang sekolah tiba. "Alhamdulillah..." gumamku. Setidaknya aku terbebas sementara dari Novita yang bikin emosiku naik turun. Cepat-cepat kukemasi semua peralatan sekolahku. Tak lama setelah berdoa bersama, aku melangkah keluar kelas.Kulihat ada Novita dan gengnya beserta Nadhira. Mereka tampak bercanda bersama. Kuputuskan untuk kembali ke kelas sementara. Bruk... Aku menabrak wali kelasku, Ibu Safira.
"Aduh, buku-bukunya jatuh semua. Aliyah, sebaiknya kamu bantu saya membawa buku-buku ini ke perpustakaan sekolah. Rak buku MAPEL-XI." "Iya, Bu. Maafkan saya," pintaku, memohon maaf. "Baiklah." Aku mulai memunguti buku-buku yang berserakan. Sementara itu, Ibu Safira mengambil satu tumpuk buku di meja guru.
Tunggu, tapi, ke perpustakaan? Perpustakaan melewati tangga, kan? Apakah Novita masih di sana? Ketakutanku semakin lengkap ketika Nina meminta Novita menunggunya di kantin, samping tangga. Begitulah, Nina adalah salah satu dari sahabat karib Novita.
"Eh, ada yang sok baik, nih!" celetuk Nina tiba-tiba. "Terima kasih." tanggapku nekat. Pandanganku tak berpindah dari buku Bahasa Indonesia yang sedang kukumpulkan. Karena Kak Ali pernah bilang padaku, "Ketika ada yang mengejek atau menjelek-jelekkan kamu, bilanglah terima kasih padanya. Dia telah membuat kita menjadi lebih baik." "Cih, apaan sih, terima kasih segala. Anak aneh." komentar Nina. "Iya, aku aneh. Terima kasih lagi."
Sekarang, aku tersenyum kepadanya. Emosiku sudah meledak-ledak. Huft... Ternyata, anak yang satu ini tak kalah menyebalkan dari Novita. "Terserah ah." Nina meninggalkanku. "Aliyah, ayo, kita ke perpustakaan." Ibu Safira membuyarkan lamunanku. "Oh, baik, Bu."
Aku segera bangkit, berjalan di belakang Ibu Safira, guru favoritku. Tapi, aku semakin takut ketika kami semakin mendekati kantin. "Nggak nyangka banget, ya, Aliyah kaya gitu." Terdengar jelas di telingaku, suara Nadhira yang menyebut namaku. Perasaanku bercampur aduk. Antara sedih, kesal, dan kecewa. Air mataku akan segera tumpah ketika mendengar tanggapan Novita.
"Siapa juga yang suruh situ temenan sama dia? Gak bermutu aja ditemenin." Begitu katanya. Aku mempercepat langkahku. Semakin banyak umpatan untukku. Ya Allah, dimana Nadhira yang dulu? batinku. Tak terasa, air mataku menetes, tepat ketika kakiku berhenti di depan perpustakaan sekolah.
"Eh, Aliyah kenapa?" Ibu Safira cepat-cepat menghampiriku setelah menata buku-buku yang dibawa beliau. Aku segera menyeka air mata. "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin ada debu yang masuk." jawabku beralasan. "Benar, kan, tidak apa-apa?" tanya Ibu Safira lagi. Aku mengangguk, berusaha tersenyum.
"Ya sudah, Ibu ke ruang guru, ya." pamit Ibu Safira. "Iya, Bu." Lekas-lekas kutata setumpuk buku Bahasa Indonesia di rak MAPEL-XI. Tak ingin keberadaanku diketahui oleh Novita. Aku segera berlari keluar perpustakaan.
Author's POV
"Hahaha... Gak bermutu, ya?" "Iya, masa aja pagi-pagi udah ngelabrak gue sih? Gak tau ya, gue siapa?" Cerita buruk tentang Aliyah semakin ramai terdengar di telinga Nadhira. Sebenarnya, ia tak yakin akan apa yang dikatakan Novita ketika jam istirahat tadi. Terngiang di telinganya kata-kata Novita yang sangat ia ingat."Tau gak, Aliyah sering banget cerita sama gue. Dan yang bikin gue gak habis pikir, yang dia ceritain pasti keburukan lo, Ra. Misalnya, dia bilang kalo lo dari dulu cuma manfaatin dia. Lo cuma dateng ke dia pas lagi butuh. Lo deketin dia kalo pas lo ada maunya. Dan terakhir kali dia cerita, dia bilang lo itu selalu bikin permusuhan antara gue sama dia. Padahal kan, dianya aja yang gak tau diri. Ya gak sih?" Lagi-lagi, keraguannya muncul.
Tak mungkin, kan, Aliyah seperti itu? Aku sudah mengenalnya sejak kecil. Ia anak yang baik dan terbuka. Masalah yang ditanggungnya selalu ia ceritakan padaku, pikir Nadhira. Tapi, seseorang bisa berubah 360 derajat secara tiba-tiba, kan? Novita juga mungkin jujur. Ya Allah... Kenapa aku merasa tak tenang menyakiti Aliyah, sahabatku sendiri?
Nadhira menarik napas perlahan, untuk menghilangkan rasa khawatirnya. Sementara itu, Aliyah sedang tertawa bersama Kak Ali, Abi, dan Ummi di dalam mobil. Mereka berencana pergi ke rumah Nenek, menginap beberapa hari di sana. "Tapi Mi, bagaimana sekolahku?" tanya Aliyah. "Seminggu ke depan, sekolah kamu diliburkan, bukan?" Ummi menoleh ke kursi belakang, tersenyum lembut. "O... Iya, Mi. Tapi kenapa, ya?"
"Ujian kelas 12, kan?" Ummi mengingatkan lagi. "Lupa, deh!" kata Aliyah asal. "Huh... Belum tua udah pelupa. Kalo udah tua jadi apa tuh?" cibir Ali. "Belum darah tinggi udah marah-marah mulu. Kalo darah tinggi gimana ya?" balas Aliyah. "Kamu doain Kakak darah tinggi?" Ali mencubit lengan Aliyah pelan.
"Kak Ali mencubitku empat kali. Jadi, aku bisa mencubit Kak Ali lima kali!" celetuk Aliyah. "Ih... Gak gitu dong!" protes Ali. "Iya, lah! Kan aku lebih muda!" tanggap Aliyah asal. Di tengah kebahagiaan keluarga kecil itu, ingatan tentang Novita menghantui pikiran Aliyah lagi.
"Dek, kenapa?" Ali melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Aliyah. Lamunan gadis itu buyar. "Kenapa? Kamu sakit?" tanya Ali. "Lho, Aliyah kenapa?" tanya Abi. Ummi segera menoleh ke kursi belakang. "Aku nggak papa, Bi. Sehat." jawab Aliyah.
Ia mencoba tersenyum, menutupi kegelisahan yang sedang menemaninya. "Bener, Nak?" tanya Ummi. Aliyah mengangguk. "Eh, bukannya rumah Nenek sudah dekat, ya?" Aliyah mengalihkan pembicaraan mereka. Iya, Aliyah, gadis yang merasa baik-baik saja di tengah kegelisahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliyah
RandomNamanya Aliyah. Dibalik senyum manisnya, ternyata ia menyimpan sebuah penderitaan. Mirisnya, semua penderitaan itu justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Menghadapi semuanya, Aliyah harus kuat bukan? Ya, Aliyah kuat!