Vania

113 6 0
                                    

Pukul 09.30, ketika Vania sampai di rumah keluarga Karin. "Cih..." Suara decihan Vania terdengar sampai ke telinga Karin. "Kenapa, Kak?" bisik Karin sopan. "Asal lo tau aja. Rumah ini nggak ada apa-apanya sama rumah gue."

Deg! Benar-benar berdesir di hati Karin. Bukannya Karin tidak terima rumahnya diejek. Tapi, apa keputusannya untuk menerimanya sebagai kakak angkatnya itu benar? Keraguan itu mulai menghantui pikiran Karin.

"Ayo masuk, Nak." Suara Papa memecah keheningan di antara keduanya. Lagi-lagi Karin terhenyak melihat Vania berjalan mendahului Papa tanpa berkata apa pun. "Pa, Papa tidak salah, kan?"

Papa justru terkekeh. "Bisa jadi itu efek dari kepergian semua anggota keluarganya." Karin tersenyum masam. Dilihatnya Papa mulai berjalan meninggalkannya seorang diri.

Karin membalikkan badannya. Ia melangkah ke arah taman bunga di belakang rumahnya. Menunda pertemuannya dengan Vania lagi. "Semoga ucapan Papa barusan benar." gumamnya.

Karin memilih untuk duduk di bawah pohon mangga. Meletakkan tas kecilnya. "Sepertinya Vania bakalan bikin gue gak nyaman." Ia menyenderkan punggungnya ke batang pohon mangga.

"Vania siapa yang barusan lo omongin? Gue?" Suara itu terdengar dari belakang Karin. Karin terkejut, lalu menoleh. " Iya. Lo." jawab Karin datar. "Gue? Iya, lah. Pasti." Tanggapan Vania barusan sukses membuat Karin berdiri.

"Maaf, Kak. Gue baru ketemu lo sekarang. Tapi lo udah buat gue gak nyaman." Karin menatap Vania tajam, menjaga emosinya. "Gue bikin lo nggak nyaman? Oke. Itu kelebihan gue." Vania justru terkekeh.

"Anak-anak?" panggil sebuah suara. Karin menoleh. Mama berdiri di sana. "Sedang apa?" Mama berjalan mendekati mereka berdua. "Eh, e... Enggak papa, Ma. Cuma ngobrol kakak-adik." Karin menekankan pengucapan di akhir kalimatnya.

"Ooh." Mama hanya tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Karin. "Rin ke kamar, Ma. Capek." pamit Karin. Ia benar-benar sudah terlalu lelah berurusan dengan Vania. Walau pun baru sehari. "Istirahat, Rin." pesan Mama. Karin mengangguk, tersenyum.

"Pamit ya, Kak." sinis Karin. Vania hanya membuang pandangannya ke sembarang arah. Karin beranjak meninggalkan mereka berdua di bawah pohon mangga. Tapi, Karin berdiri di pintu yang menghubungkan perpustakaan kecilnya dengan taman belakang.

Sayup-sayup suara Mama yang lembut terdengar. "Boleh kamu ceritakan tentang kamu, Nak?" tanya Mama. Karin mengambil ponselnya, merekam pembicaraan mereka.

"Tante, jangan deketin gue sekarang. Gue nggak butuh Tante disini." Karin menghela napas panjang, menahan emosinya yang naik turun sekarang. "Ceritakan lain kali. Jangan panggil Tante. Nggak enak dengernya." Mama justru mengakhiri pembicaraan mereka, lalu pergi.

Buru-buru Karin memasukkan ponselnya, berlari ke kamarnya. Masih sempat terlihat oleh ekor mata Karin ketika Mama menunduk, mengusap pipinya pelan. Karin menutup pintu kamar, melepas tas, lalu duduk di tepi ranjang.

"Emang bener-bener Vania itu." gumamnya. Ia lantas berjalan masuk ke ruang latihan musiknya yang terletak manis di dalam kamar. Ruangan itu minimalis, namun lengkap dengan alat-alat musiknya.

Yang saat ini Karin butuhkan adalah ruangan kedap suara. Dan itulah satu-satunya ruangan kedap suara di rumah keluarganya. Karin duduk di kursi dalam ruangan musik tersebut, menutup pintunya rapat-rapat. Berteriak.

"Nggak papa gue yang sakit hati terus! Lah ini Mama! Gue nggak terima, Bos! Gue bakalan balas dendam kalo sampe dia lakuin lebih dari bentak Mama!" Napasnya tak beraturan setelah berteriak keras seperti itu. Ia terduduk di lantai. Mengatur napas.

Ia menutup wajahnya. Terisak. "Keputusan gue salah kali ini. Maaf, Ma, Pa." ucapnya di sela-sela tangisnya. "Kehadiran Vania bakal ngerubah semuanya. Gue yakin itu. Beberapa kali dia muncul di mimpi gue." Karin mengangkat kepalanya.

AliyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang