Hey, Don't Cry!

7 1 1
                                    

"Eh, katanya ada anak baru ya? Cakep pula! Kenapa gue baru tau sekarang sih?!" Suara melengking itu memenuhi seisi ruangan kelas 11 IPA 2. Itu Adelina, atau yang akrabnya disapa Adel. Cewek super cempreng yang terkenal nggak tau malu.

Lea menatap kosong ke arah depan, tidak menghiraukan ketiga temannya yang asik bercerita heboh. Kejadian tadi malam yang terlalu mengejutkan baginya terus berputar, seperti kaset rusak di otak Lea.

"Iya, kelas sebelah sih kayaknya," sahut Gea tak kalah heboh. Namun tentu saja suaranya tetap terjaga, tidak secempreng Adel.

"Mesti kenalan, nih! Lumayan lah buat selingan," ucap Adel dengan terkikik geli. "Gue bosen sama Bayu," lanjutnya dengan dengusan pelan.

Lea masih tidak merespon, hanya menatap kosong ke arah papan tulis. Mara yang menyadari perubahan Lea itu mendekati Lea, menatap dengan seksama wajah kosong tanpa eskpresi itu. Tidaj biasanya Lea seperti ini.

"Le? Are you fine?" tanya Mara sembari menyentuh bahu Lea pelan.

Lea tersentak lalu menatap Mara dengan pandangan kosong. Entah ke mana perginya raga cewek itu saat ini.

Gea dan Adel langsung menatap Lea. Mereka mengernyitkan dahi, baru menyadari perubahan yang ditunjukan Lea.

"Lee.., are you okay?" Kini giliran Gea bertanya dengan sedikit kecemasan di dalamnya. Lea terlihat sangat mengerikan saat ini.

"No, gue gak tau," jawab Lea menatap ketiga sahabatnya secara bergantian.

"Ada masalah?" tanya Adel dengan suara lebih lembut, tidak mau menggunakan suara cemprengnya dalam keadaan seperti ini.

Keadaan kelas sepi, entah ke mana para penghuni kelas yang biasanya memenuhi ruangan ini. Sepi, sunyi dan senyap. Hanya ada  mereka berempat.

"Kak Rael...," lirih Lea dengan air mata yang mulai menetes. "Gue kangen Kak Rael," lanjutnya lagi dengan suara yang terkesan seperti bisikan.

Deg. Seperti ada sebuah batu besar yang menghantam dada ketiga cewek di depan Lea. Melihat air mata itu kembali mengalir dari mata Lea, seperti ada sebuah bogeman mentah yang menghantam dada mereka.

"Lee, Kak Rael udah bahagia di sana," ucap Mara sambil terus mengusap bahu Lea yang mulai bergetar karena tangis.

Seketika otak Lea memutar balik tentang seorang cowok berusia dua puluh tiga tahun kala itu. Senyuman melengkung indah di wajah putih itu, mata menyipit yang terbentuk seperti bulan sabit. Sempurna. Wajah tampan seorang Raeldo Madevona.

"Lo cewek kuat Lee," ucap Gea ketika Lea semakin hanyut dalam tangisnya.

Adel menangis, ikut meresapi kesdihan sahabat yang sudah dia anggap saudara. Begitu juga Mara yang diam-diam meneteskan air matanya. Hanya Gea yang tegar, meskipun sebenarnya gadis itu meraung di dalam.

"Lee, don't cry!" Adel yang sudah tidak tahan melihat air mata yang terus mengalir dari mata Lea berteriak marah.

"Gue kangen Kak Rael!" Lea balas berteriak, mengangkat wajahnya yang sudah basah karena ari mata.

Gea yang sejak tadi belum menangis kini berusaha menahan isakannya. Hatinya tercubit melihat Lea menangis seperti ini. Bukan hanya Gea, Adel dan Mara juga merasakan hal yang sama.

"Terus dengan lo gini Kak Rael bisa balik?! Kak Rael bisa hidup lagi?! Enggak Lee enggak!" Adel berteriak dengan emosi.

Lea menunduk, merasa bersalah karena mmebuat ketiga sahabatnya cemas. Beginilah mereka, ketika satu jatuh, maka yang lainnya ikut runtuh. Itu namanya persahabatan bukan?

"Lo punya kita di sini Lee," ujar Mara dengan suara lebih tenang.

Adel memeluk Lea, lalu kemudian diikuti Gea. Setelahnya Mara ikut berpelukan bersama ketiga gadis itu.

"Thanks, gue beruntung punya kalian," ujar Lea di tengah pelukan mereka. Setidaknya Lea punya sahabat yang tidak akan meninggalkannya sendirian.

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang