P a r t | 5. Sesal

20.4K 1.2K 22
                                    

Setiap pulang sekolah, kami para siswa kelas akhir punya jam pulang lebih awal tetapi kami harus bimbingan terlebih dahulu, karena sekitar satu bulan lebih lagi kami akan menghadapi ujian. Di sekolahku semua muridnya benar-benar dituntut untuk punya nem bagus, jadi mulai dari dua bulan yang lalu sudah diforsir untuk belajar lebih.

Sekitar lima menit lagi bel tanda berakhirnya bimbingan akan berbunyi. Bisa kurang, bisa juga lebih. Biasanya kalau guru sedang kagok menjelaskan dan materi tinggal sedikit lagi, tapi bel sudah bunyi, akan diteruskan sampai selesai. Apalagi sekarang yang mengajar itu Mr. Koko. Beliau suka melebih-lebihkan waktu, tidak tahu kenapa. Hanya beliau yang tahu.

Benar saja, sudah lima belas menit berlalu Mr. Koko baru membubarkan kelas. Aku segera keluar kelas setelah membereskan semua barangku yang ada di atas meja. Sudah jam lima kurang lima belas dan perutku keroncongan.

Ternyata masih ada satu kelas lagi yang belum bubaran, kasihan sekali. Pasti mereka sudah begah dan capek. Inginnya rebahan di kasur atau segera menyantap makanan, bukannya terus berkutat dengan buku dan mendengarkan penjelasan guru terus.

Aku berjalan menuju gerbang sekolah sendirian. Ketiga temanku berbeda kelas bimbingan dan mereka sudah pulang duluan sepertinya. Sekolah nampak sepi, karena kelas X dan XI sudah bubaran sejak jam setengah empat. Mungkin yang masih di sekolah sedang ada kegiatan eks-

"Awh!" Badanku sedikit terpental ke belakang, karena menabrak sesuatu. Kecerobohanku karena menatap ponsel saat berjalan. "Maaf, maaf."

Aku mendongak untuk melihat siapa yang aku tabrak barusan. Aku menahan napas, terkejut mendapati dia tepat di depan wajahku. Aku menoleh ke samping kanan, mendapati Sarah yang bersisian dengan Bara. Buru-buru aku berlalu dari hadapan mereka setelah sekali lagi meminta maaf. Ada nyeri di hati setiap melihat rupanya.

Padahal sudah tiga bulan lamanya malam kelam itu berlalu, tapi aku tidak bisa sedikitpun melupakan kenangan terburuk selama delapan belas tahun aku hidup. Hatiku tambah sesak saat seminggu setelah Bara merengut kegadisanku, aku mengetahui fakta baru bahwa Bara sudah mempunyai kekasih: Sarah.

Bukan karena cemburu atau hal lain yang melibatkan perasaan suka, tapi aku memikirkan kesakitan yang akan Sarah terima saat dia tahu pacarnya telah meniduri perempuan lain. Tidak ada yang ikhlas dikhianati, termasuk- sorry, aku tidak bisa melanjutkannya.

Dendam itu ada, terus terang. Aku juga ingin membuat luka di kehidupan Bara seperti dia menanam luka di tubuhku walaupun aku tahu tindakan bejat Bara malam itu bukan atas kehendaknya. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan akhirnya meniduriku. Aku juga bodoh karena menjadi lemah sehingga pasrah kurang kuat melawan.

Nama Mama tertera dalam sebuah panggilan di ponselku, aku segera mengangkatnya. Suara lembut Mama langsung menyapa gendang telinga. "Kim, masih di sekolah, kan?" tanya Mama dan bodohnya aku mengangguk.

Sadar telah bertindak bodoh, karena mengangguk padahal Mama sudah jelas tidak bisa melihat wujudku, lantas aku membuka suara, "Iya masih, Ma, kenapa?"

"Jangan pulang ke rumah, ya. Sini ke Trasty Cafe, Mama, Papa, sama Teteh lagi di sini. Naik Grab aja, ya."

"Oke, Kim ke sana sekarang."

"Oke, hati-hati sayang." tutup Mama. Aku memasukan ponsel ke dalam saku rok seragam. Untung belum naik angkot, jadi tidak perlu repot.

Sepertinya otakku sedang bermasalah, satu lagi kebodohan yang aku lakukan yaitu memasukan ponsel ke dalam saku padahal aku belum memesan Grab. Aku sedang pusing sebenarnya, mungkin karena belum makan dari siang. Setelah menunggu beberapa menit, Grab-car pesananku tiba. Tadinya mau pesan ojeknya saja, tapi setelah dipikir-pikir lebih baik pakai mobil karna kepalaku pusing. Takutnya ini tanda-tanda akan masuk angin, karena panas dinginpun mulai terasa.

Barllyamore [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang