P a r t | 7. Reaksi

21.4K 1.3K 24
                                    

"Ibu," Aku mengangkat tangan kanan. "Saya mohon izin ke kamar mandi." izinku sambil mati-matian menahan desakan di tenggorokan ini.

Bu Santi menatapku penuh khawatir. Tetapi beliau tetap mengizinkan tanpa bertanya apa-apa terlebih dahulu. Sebelum keluar bangku, Dania menahan lenganku. "Aku anter, ya?" tanya Dania, diapun khawatir sepertinya.

Aku menggeleng seraya menepuk lengan atasnya. "Nggak usah, aku sendiri aja, nggak apa-apa, kok."

Selanjutnya aku melangkah keluar kelas dengan tenang, agar mereka tidak khawatir. Tapi setelah di lorong dekat kamar mandi, aku mulai berlari karena desakan itu menguat. Aku sudah tidak tahan. Dalam pelajaran Bu Santi kali ini, sudah terhitung dua kali aku izin ke kamar mandi untuk muntah.

Lengan kananku bertumpu pada sisi toilet, sedangkan lengan kiriku menahan rambut agar tidak terkena muntahan. Kali ini hanya berupa cairan, sedangkan tadi aku muntah banyak sekali. Sampai aku lemas.

Mual lagi, mual lagi, mual lagi...

Ya Allah... kenapa semua ini nyiksa aku? Badanku rusak, fisikku lemah, psikisku terganggu. Kenapa cobaan ini datang terus menerus samaku? Apa salah aku sampai dapet cobaan segini beratnya? Aku memang sangat berdosa setelah disentuh, tapi sebelum itu apa aku pernah berbuat dosa besar?

Mama... aku butuh Mama.

Lagi, air mataku tak bisa kubendung. Mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah dan dihentikan.

Semua ini begitu... sakit....

Jariku menekan tombol flush toilet, lalu menutupnya dan menumpahkan semua tangisku di sini. Terus terang, aku capek harus menanggung semua ini sendirian. Setiap pagi aku mual, muntah, membuatku terus merasa lemas dan was-was, karena takut semua orang curiga dengan keadaanku yang seperti ini.

Entah kehamilan ini cobaan atau adzab buatku. Yang memperkosaku itu Bara! Semua ini berawal dari lelaki itu! Semua ini salahnya! Tapi ... kenapa aku yang harus menanggung adzabnya? Sementara hidup Bara baik-baik saja sepertinya. Hanya aku yang menderita. Aku yang menanggung akibatnya sendirian.

Dan kenapa dia harus tumbuh di rahimku?

Jujur, pernah ada rasa ingin melenyapkannya. Lagipula aku masih terlalu dini, merasa tidak akan mampu untuk membesarkannya. Apalagi dia seolah menyiksaku, membunuhku secara perlahan dengan rasa takutku yang kian bertambah setiap harinya. Sebagai pendiri Remaja Sehat, aku merasa sia-sia membangun organisasi tersebut dengan susah payah sampai beberapa kali memenangkan penghargaan, tapi ujung-ujungnya malah aku sendiri yang terjerumus.

Ada keuntungan yang kuperoleh dari Remaja Sehat. Aku jadi sadar dari perasaan ingin melenyapkan itu. Masalah ini bukan salah bayi itu, dia suci, dia tidak berdosa, yang berdosa adalah kedua orang yang telah membuatnya ada. Aku dan Bara yang berdosa besar. Dia tidak pantas dilenyapkan.

Lelah telah menangis banyak di kamar mandi, terpaksa aku bangkit. Aku mencuci wajah di wastafel. Jejak tangisku tidak bisa hilang, ini akan membuat pertanyaan baru bagi teman-temanku. Biarkan, aku bisa berkilah.

Aku keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Juga menundukan kepala untuk menyembunyikan bekas tangis. Sampai di belokan lorong, keseimbanganku hilang karena menabrak seseorang. Kukira akan jatuh, tapi seseorang yang kutabrak itu menahan tubuhku dengan tangannya.

"Maaf, aku gak liat-liat jalannya." ucapku. Lalu melepaskan tangannya yang membelit pinggangku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena masih menunduk.

"Nggak apa-apa."

Aku membeku.

Suara ini ... milik Bara. Aku tidak tahu mengapa perutku tiba-tiba kram. Dia bereaksi saat ayahnya berada di dekatnya. Please, aku mohon kamu jangan bereaksi lebih dari ini.

Barllyamore [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang