Aku mengernyit saat merasakan pusing di kepala, pusing sekali sampai membuka matapun rasanya sangat susah. Lalu aku merasakan kain basah di kepala dan ada seseorang yang duduk di sampingku. Pasti Mama.
Saat mencoba bangun, kedua bahuku ditahan, tidak diperbolehkan beranjak dari posisi tidur.
"Ma?" Aku memanggil Mama dengan suara yang tidak bisa dibilang baik. Bukan hanya tubuhku yang kehilangan energi, tapi suaraku juga. Mengucapkan sepatah katapun bergetar dan sakit di tenggorokan. "Aku mau mandi, sekolah."
"Sekolah gimana? Kamu lagi sakit, lagian sekarang udah jam delapan." kata Mama. Aku mau lihat jam, tapi mau buka matapun susah. Pusing sekali, kepalaku berdenyut sampai terasa ke mata.
"Kepala Kim sakit banget, Ma. Pusing," keluhku, tanpa terasa buliran air mata sudah keluar dari kedua mataku. "Dari semalem udah pusing, kirain nggak bakal kaya gini."
"Nah, makanya itu kalau makan jangan dikit-dikit. Kemarin nggak sarapan, kan? Di sekolah juga pasti gak makan makanan berat. Pas makan sore juga nggak habis. Nggak mau Mama mah liat kamu makan nggak bener kaya gitu lagi. Coba liat sekarang apa akibatnya, sakit kan?"
Mama mengomel tapi tetap memelukku erat sekali. Ia mengecup kening dan kedua kelopak mataku. Lihat? Bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu. Meski kita tak pernah absen membantah, tapi orang tua tak pernah absen mengasihi. Mama dan Papa begitu amatnya menyayangiku.
Tapi, Ma... Mama belum tahu. Kalau saat ini aku telah mengecewakannya. Tubuhku sudah rusak, Ma. Mama pasti kecewa kan kalau tahu aku begini? Maka, haruskah aku menyembunyikan kekotoranku ini dari semua orang untuk selamanya?
Agar aku aman, agar aku tidak melihat raut kecewa keluarga yang amat menyayangiku. Aku takut, kalau tiba saatnya mereka tahu bahwa aku sudah tidak perawan lagi, tatapan sayang itu, tatapan cinta itu mendadak hilang.
Haruskah aku?
"Ma... Maafin Kim udah ngebantah terus omongan Mama." Aku terisak. "Maafin Kim...," karena telah mengecewakan Mama dan membohongi Mama. "Mama nangis? Kok nangis, sih? Aku gak apa-apa, lho, Ma." Aku menarik diri dari dekapan Mama untuk menghapus jejak sungai di pipinya.
Aku sakit saja Mama sudah menangis seperti ini, bagaimana kalau nanti kenyataan itu telah diketahuinya?
Mama berhenti menangis lalu tertawa, tawanya menular padaku. "Mama paling nggak bisa liat anak Mama nangis." Sekali lagi bidadariku mengecup keningku. "Mama selalu maafin, lagian cuma ngebantah soal makanan doang. Udah biasa, Teteh juga gitu. Kalau kamu nakal, gaul yang macem-macem, baru Mama sama Papa marah."
Senyumku mendadak lenyap.
Gaul yang macam-macam seperti apa, Ma? Apa berhubungan badan dengan laki-laki maksud Mama?
Kalau benar, maaf Ma, Kim telah melakukannya.
***
Pening yang melandaku hari ini sudah lumayan membaik, setelah diberi obat oleh Mama. Mama sudah memasakan bubur dua kali, tapi aku menolak, uhm, bukan menolak, tapi hanya memakan beberapa suap. Setelah itu aku biarkan.
Itu adalah salah satu hal yang Mama tidak suka dariku, susah makan. Saat badan bugar saja aku makan tidak teratur, apalagi sekarang saat aku sakit, aku benar-benar tidak punya nafsu makan. Pening di kepala salah satu faktornya, aku hanya ingin berbaring dan memejamkan mata, juga perutku keram dibuatnya.
Dari kemarin aku tidak berhenti muntah-muntah dan sejak tadi pagi aku sudah muntah tiga kali. Beginilah jika aku sakit, susahnya amat-sangat. Tapi aku masih bandel kalau berurusan dengan makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barllyamore [Terbit]
Teen Fiction(AMAN DIBACA SIAPAPUN. Bukan hanya cerita fiksi, tapi dengan adanya cerita ini kalian bisa lebih membuka pikiran kalian. Tidak semua orang yang dipandang buruk adalah orang berakhlak buruk pula. Karena sebelum ada akibat, pasti ada sebab. Sebuah kes...