5

77 6 0
                                    

Bukan maut yang menggetarkan hatiku, Tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya.

________________________________

Bulan sabit tak henti hentinya terkembang dibibirku. Aku bahagia karenanya. Jangan sampai senyum ini di gantikan tangis. Mulut ini tak segan untuk tertawa kencang. Melihatnya mengumpat sesuka hati, lucu sekali. Hanya menaiki kora kora saja begitu hebohnya. Tak sebanding dengan wajahnya yang terlihat jantan.

Aku berdiri hanya sebagai pengamat. Setelah lelah untuk tertawa. Karena sebentar lagi kora kora itu berhenti.

Nara lah yang menaiki kora kora. Sudah kukatakan jika Aku jago dalam permainan tembak. Bukan salahku jika Aku menang kan?.

Point kami hanya selisih satu. Karena tembakan Nara terakhir melesat jauh. Salah siapa terlalu bersemangat. Al hasil Aku memenagkannya, tentu saja Nara harus menaiki kora kora. Tak kusangka jika Nara takut menaiki kora kora. Terlihat jejeritannya di awang awang.

Tibalah Kora kora berhenti. Nara  turun dengan tertatih. Aku tak kuasa melihat wajahnya yang nelangsa.
Ia memenganggi perutnya dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan.

"Nar" Panggilku padanya. Nara sibuk mecondongkan badannya kebawah seperti ingin muntah. Ia menggabaikan panggilanku.

"Kamu nggak apa Nar? Maaf ya!" Aku mengusap usap tengkuknya. Kata Ibu  jika  seseorang muntah bisa sedikit lancar jika di usap tengkuknya. Tapi biasanya kalau mas Dasa yang muntah langsung saja ku pukul punggungnya. Karena Mas Dasa orangnya nggak peka. Mau di pukul juga nggak akan sakit. Lah Nara badannya nggak se kekar Mas Dasa. Kalau kupukul bisa terbang terbawa angin. 

"Kalau nggak karena Kamu nggak mungkin Aku naik kora kora bangsat ini." Katanya mengaduh dengan garangnya.

"Salah sendiri kalah" Kataku meninggalkannya pergi ke penjual permen kapas. Nara melihatku dengan malas. Terlihat Ia hanya Diam dengan pandangan lurus.

"Kamu tuh, orang sakit harusnya disayang sayang" Kata Nara menyusulku. Ia menarik tangganku agar tidak segera mendekat pada pedagang Permen kapas.

Aku tersenyum semanis madu untuk Nara. " Kamu sakit Aku Sayang, Tapi kamu Sakitin Aku pas lagi Sayang. Gimana? "

Aku melepaskan tangan Nara langsung saja. Menghampiri pedagang Permen Kapas. Mungkin pedagang Permen Kapas lebih menarik hatiku dari Nara.
"Apa Ra? Tadi kamu ngomong apa?"

Katanya dengan semburat senyum di bibirnya.

"Nggak papa nggak Akan itu terjadi." Kataku tersenyum pada pedagang permen Kapas.

pedagang permen Kapas itu menatapku dengan heran. Sangat binggung melihatku sampai mulutnya menganga.

"Apa mbak, ngomong sama siapa".

"Nggak mas, mas nya ganteng." Kataku padanya, Nara terlihat berlari dan langsung duduk di kursi yang disediakan penjual untuk para konsumennya.

"Oh kalau itu Saya tahu mbak, Saya udah punya banyak pacar. Sekarang Saja masih banyak yang ngejar ngejar Saya. Saya sendiri binggung, mengapa Tuhan menciptakan Saya ganteng."

Hahahaha sungguh Aku tak Bisa untuk menahan tawaku. Pede sekali penjual permen kapas itu. Jelas mukanya tak seganteng Adam levin. Pakai ngebanggain pacarnya yang berjibun. Hello, situ waras mas? Pacar banyak kok bangga.

"Mbak juga naksir sama Saya ya? Sini minta nomornya mba. Biar nanti kita bisa saling kontak." Katanya mengeluarkan ponsel dari saku celemeknya.
Aku sedikit melirik Nara bagaimana reaksinya jika Aku katakan boleh pada Mas itu. Karena sekarang Ia sedang asik membenamkan mata. Sekadar mengatur nafas. Mas Nala menyuruh Nara menjagaku lalu jika Aku terlibat dengan Pedagang itu apakah Nara akan marah.

Angin Si PerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang