6

36 1 0
                                    

Menurutku Cermin adalah teman terbaikku, karena cermin tak pernah tertawa saat aku menangis.

***

"Lo kenapa sih dititipin dirumah Gue? Lo kan orang kaya suruh aja perawat buat ngerawat Lo. "
Cercaku pada seorang lelaki yang sedang ku papah karena perutnya yang masih sakit.

Karena hukuman Ibu disinilah Aku berada. Di taman kompleks bersama Ziya.  Karena perutnya yang masih sakit olen bekas luka tusuk kemarin, Ia kesusahan untuk berjalan. Aku menyuruhnya memakai kursi roda yang di berikan mamanya kemarin. Namun Ia ngotot menolak,  katanya Ia lebih nyaman berjalan. Padahal jika dipikir itu lebih menyusahkan ku, karena badannya yang berat.

"Gue nggak mau ada orang lain yang tau rumah Gue" Katanya menatapku.
"emang selama ini lo tinggal sendiri?  Lo tinggal dimana? " tanyaku gemas padanya.
"Lo kepo ya kayak Dora"
Ia mengacak rambutku  kesal.

Aku sedang ingin berbincang banyak dengan Ziya. Aku ingin bertanya mengapa Ia bisa mendapatkan luka tusuk itu. Apakah yang kulihat 4 minggu lalu adalah Dirinya. Saat Aku dan Nara pulang dari pasar malam. Apakah itu Ziya.

Jujur banyak pertanyaan bersarang di kepalaku.  Pasalnya sejak saat itu Nara juga tidak terlihat datang kesekolah. Bahkan saat pertandingan takraw antar sekolah kemarin Nara juga tidak ikut.

Apa sebenarnya masalah yang terjadi di hubungan pertemanan Nara dan Ziya.

"Kita duduk disana yuk" ajakku menunjuk Bangku di pinggir taman.

"Zi Gue boleh nanya nggak? " ungkap Ku setelah kami duduk manis di bangku pinggir taman.
"Tanya aja Mumpung Gue lagi baik. "
"Lo kok bisa kena tusuk sih? " Tanyaku hati hati.

"ceritanya panjang. Lagian Gue Udah sering kayak gini.  Ini masalah kalau Gue Ceritain bisa sampai subuh"
Katanya dengan sedikit bercanda.

Aku berpikir keras untuk bisa memancing Ziya bercerita. Namun Aku kehilangan akal. Satu satunya cara adalah dengan menanyakan Dimana Ia mendapatkan luka itu.

"Zi? "
"Hem"
"Lo dapet luka itu dideket kompleks rumah Gue bukan? "
"Iya, dijalan wirakanti"
Aku benar benar kaget. Ternyata benar dugaan ku Dia yang membuat Aku hampir mati tempo hari. Aku benar benar kesal.

Aku menatapnya lekat mencari kebenaran dimatanya "Gini Ya Lo tau nggak gimana Gue mau mati dijalan itu gara gara Gue juga dikejar musuh Lo!  Lo Kalau brengsek tu liat liat Zi,  jangan nyusahin orang."

Kini aku benar benar malas melihat Ziya. Aku menatap kosong didepanku.

"Gue minta maaf kalau selama ini Gue nyusahin Lo,  nyusahin keluarga Lo. Bahkan sekarang Lo jagain Gue, setelah apa yang Gue lakuin Ke Elo. Gue tau Gue bajingan." Ziya  Diam Dia menunduk entah memikirkan apa, namun matanya seperti menahan tangis.

Taman semakin ramai dengan anak anak yang sedang bermain di sore Hari.

"Pulang Yuk" Ziya berdiri dengan mengaduh. Karena memang luka yang diperutnya belum kering. Dokter menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak.

"Mangkanya tunggu, Lo itu masih sakit Jangan banyak gaya" Aku langsung menarik tangannya dan memapah Ziya.

***

"Eyang! !!!!!...." Aku langsung memeluk Eyang, meninggalkan Ziya yang masih sakit.

"Era kangen banget sama Eyang, huhuhu Eyang nanti pokoknya harus tidur sama Aera. Nggak mau Tau!!!!"

Ibu yang  tadi sedang menyapu halaman langsung menghampiri Ziya yang meringis kesakitan. Ibu menggantikanku memapah Ziya, tak lupa dengan mengomel sekuat tenaga
"Kamu itu Gimana sih, Ziya lagi sakit kok Malah ditinggal gitu aja, itu lukanya belum kering. Nanti kalau kenapa napa gimana? "

Aku mengerucutkan bibirku sambil menekuk wajah tak Suka.

"Iya maaf"

"Itu siapa?" Tanya Eyang menatap Ziya tak suka. Aku menyunggingkan senyum.

"Itu Ziya Eyang, anaknya tante Lana.  Kelana Rastanti pramana bosnya Ayah" Kataku Sambil mengajak Eyang masuk. Eyang tetaplah Eyang, aku sih nggak tahu kenapa Eyang nggak suka Sama Ziya. Tapi yang ku tahu pasti Eyang punya alasan.

"Ohh anak perempuan itu,  kenapa Dia disini?  Emang mamanya nggak ngurusi. " tanya Eyang sambil berjalan ke ruang keluarga. Aku sebenarnya binggung mau menjelaskan ke Eyang. Karena permasalahannya saja Sulit ku mengerti.

***

Sore yang Indah dengan pemandangan wara wiri anak anak bermain. Aku menatap langit, menyaksikan keindahannya menyongsong senja. Sungguh nyaman sembari melihat mereka bermain. Sungguh tak Ada beban, mereka belum tau pahitnya Dunia.

"Hei lo ngapain deh disini" Tepuknya di punggungku yang sontak ingin ku siram secangkir teh hangat.

"lo nggak lihat Gue lagi ngapain, punya mata nggak sih!" kataku kecut menyeringai.

"galak banget sih Lo, cuma gitu aja " Dia  mengambil posisi duduk disebelahku.

"Ngapain lo duduk, ih ganggu Gue ngehalu deh"
"Halu tu gak bagus tauk. Eh Lo gimana sih bisa kenal Nara? " Tanyanya yang membuatku antusias mengorek informasi darinya. Jujur aku takut Nara kenapa Napa.

"Gue kenal waktu diparkiran sekolah, Gue minta tolong ke nara biar Lo nggak Tawuran. Tapi lo nya tetep tawuran kan sialan ya"
Sindirku untuknya yang dibalas dengan senyuman miring.

"Gue emang sialan, Lo jangan pernah deket sama Gue. Apalagi sampai cinta, Entar lo sakit hati terus kalau Sama Gue. "
Aku tersenyum mendengar Ziya mengatakan kalimat konyol itu. Mana mungkin Aku jatuh cinta kepada Ziya.  Lelaki yang jelas tak punya hati. Aku akan terus makan Hati jika bersamanya. Walau ku akui Ziya itu Keren.

"Gue jatuh cinta sama Lo,  Main Main Gue ke Berlin ke makamnya adolf hitler"

"Beneran ya Gue pegang omongan lo"

"Era kamu ngapain? " Tanya Eyang yang tiba tiba muncul dari depan gerbang. Eyang baru saja mengantar oleh oleh untuk tetangga sebelah. Aku yang kaget hanya memutarkan bola Mata.
"duduk Eyang, Eyang gak liat? "
"Kamu juga ngapain? " tunjuk Eyang ke Ziya.
"Duduk" jawabnya datar. Gila ya si Ziya sama orang tua bisa bisanya gak ada sopan. Aku tak habis pikir melihatnya.

"Kamu tu ya ditanyain baik baik jawabannya gak sopan banget"

"Gue sopan sama orang yang bisa sopan ke Gue"

"ziya lo gak boleh Kayak gitu"

Tut.... Tut.... Tut....

Dering telepon terdengar dari handphone Ziya.  Ditengah tengah percakapan kami yang menengangkan karena Eyang terkadang juga sangat menyebalkan.

"Hallo"
..............
"Gak usah sok perhatian"
............
"Gue tau diri Gue"
............
"Udah gak penting, tante gak usah sok peduli "

Angin Si PerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang