Sang penjuru

42 6 5
                                    

Petir itu sudah lama menyambarku. Jika rusak adalah bagianku. Kuharap kamu tak ikut tahu.

***

Aku terkapar di kamar pengap yang tak ku ketahui milik siapa.  Setengah nyawaku tadi mengatakan jika lelaki bajingan itu menolongku.

Sudah ku bilang jika Aku tak membutuhkan bantuannya. Lebih baik Aku mati jika harus membalas budi padanya.
Kondisi ku saat ini sungguh mengenaskan.
Dengan perban melilit diperutku juga dengan selang infus yang terpasang di sandaran tempat tidur.
Ruangan ini seperti kamar seorang lelaki. Terlihat poster poster club sepak bola tertempel menjadi wallpaper dinding kamar ini.

Aku sengaja memejamkan mataku guna mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali.  Mungkin banyak kejadian yang tidak ku ketahui saat Aku terlelap.

Tok... Tok... Tok

Seseorang mengetuk pintu kamar yang ku tiduri.  Masuklah seorang Ibu beserta anak gadisnya.

"Era tolong Kamu mandikan zia." Suruh ibu itu kepada anaknya.

"Nggak mau Bu,  ngapain sih nyuruh  Era. Kan Dia cowok, nggak sepantasnya kalau aera yang mandiin. Suruh mas nala saja."

Aku pura pura memejamkan mataku, agar aku dapat mendengar apa yang mereka katakan tanpa ketahuan.

"Ini darurat Era,  Ibu harus masak untuk makan kita. Mas Nala mu itu kamu tahu sendiri kalau Dia sedang ke luar kota. Ada job motret disana. Lagian dari kemarin juga kamu yang mandikan Dia. " Jelas wanita itu.

Aku sedikit kaget, jadi selama Aku tak sadarkan Diri Dia lah yang merawat ku.  Seharusnya Dia tak menolong ku,  mengapa Dia menolong orang Bajingan seperti ku.

Ibu itu meninggalkan kamar hingga tersisa Aku dengannya. Kulihat dengan telaten Ia mulai mengusap dada dan tanganku dengan waslap. Aku sedikit membuka mataku untuk melihatnya.
Dia adalah Gadis yang tempo hari ku maki. Juga yang membantu arta saat menangis di pesta mama.

Aku sedikit menyesal telah melakukan itu padanya, tapi Aku memiliki alasan lain untuk berbuat seperti itu .
"Maaf" Aku membuka mataku,  memegang tangannya yang sedang membersihkan badan ku.

"Hem" Dehamnya sedikit kasar.
"makasih Lo Udah ngerawat  Gue. " Ungkap ku dengan tulus. Mungkin Dia tidak akan melihat ketulusan ku. Karena sudah biasa Aku berbuat jahat kepada oranglain.

"Nggak usah baper, Gue kepaksa  nolong Lo. Kalau nggak karena Ibu Gue nyuruh ngurusin Lo,  nggak mungkin Gue mau. Mending Gue biarin Lo mati di rumah Gue. Biar nggak bikin orang susah " Dia tersenyum kecut. Aku tau jika Dia tak serius mengatakan itu. 

"Beneran Lo mau ngebiarin Gue mati. Nanti stok cogan berkurang loh. " godaku sedikit menetralisir keadaan. Aku merasa jika keadaan seperti ini akan membuat orang tidak nyaman.

"lepasin tangan Gue! nggak usah modus. Dasar Hidung Albino. " Katanya menyentak tangannya yang ku genggam.
"santai dong, enak aja hidung Albino.  Gue masih sakit nih. "
"Bodo amat! Nyusahin aja Lo. "

Dia pergi keluar, entah ingin kemana.  Padahal Dia belum selesai memandikan ku. Ada untungnya juga Aku sakit. Aku bisa dekat dengan seseorang yang sudah lama hanya ku pandang dari kejauhan. Keadaan lah yang membuat ku tidak bisa mendekatinya.

***

"Kamu tahu nggak Kamu Udah tidur berapa lama? " tanya
Ibu itu sembari menyuapi ku dengan Sayang. Baru kali ini Aku mendapatkan perhatian sebegitu tulusnya. Sangat ingin Aku memiliki Ibu seperti nya. Dia penuh kelembutan, anggun pembawaannya, namun juga bisa bersikap seperti lelaki saat Suaminya tidak ada. 

Angin Si PerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang