Langit siang ini begitu terik. Matahari dengan kuatnya memberikan energinya ke bumi. Menyengatkan hingga peluh bercucuran. Begitulah yang dirasakan Fathiah saat dalam perjalanan berkunjung ke coffeeshop ini. Ia duduk di pojokan ruangan, dari balik jendela ia melihat hiru pikuk jalanan dengan kendaraan yang cukup ramai seperti biasanya, dan pejalan kaki yang tak sedikit pula.
"Assalamu'alaikum"
Suara seorang perempuan membuat Fathiah refleks menoleh keasal suara. Sejenak ia mengabaikan pemandangan di keramaian jalan yang cukup padat dengan kendaraan dan pejalan kakinya di trotoar.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh" jawab Fathiah. Ia langsung berdiri dari duduknya dan berpelukan dengan perempuan bercadar di hadapannya.
"Udah lama nunggu, ya?" tanya perempuan itu sembari mengambil posisi duduk berhadapan dengan Fathiah.
"Baru datang juga. Mbak datang sendiri?" tanya Fathiah pada perempuan di hadapannya, namanya Adya.
"Tadi mbak mau bawa Adam, tapi dianya mau ikut abanya ada kajian ikhwan dekat kompleks"
Fathiah hanya mengangguk mengiyakan.
Di dalam cafe ini tak banyak yang mereka bicarakan, hanya beberapa hal dan selebihnya bernostalgia saat mereka sama-sama menuntut ilmu di pesantren di Surabaya. Keduanya berpisah saat Adya lebih dulu lulus dari pesantren tersebut, dan memutuskan menikah setelahnya, lalu ikut dengan suaminya ke Kalimantan.
"Assalamu'alaikum"
Fathiah maupun Adya menoleh pada sumber suara yang mengintrupsi pembicaraan mereka. Fathiah tertegun ketika orang yang berdiri di samping mejanya adalah Satria.
"Wa'alaikumussalam , mas Satria" jawab Fathiah sedikit kikuk. Apa pria bias ada disini?
"Tadi mas ragu-ragu mau nyapa, takut bukan kamu" Satria terkekeh. "Yaudah kalau gitu mas duluan, pesanannya udah selesai" tutur Satria sambil menunjukkan gelas minumannya dan segera mengakhiri kecanggungan sesaat itu. Sebelum pergi matanya menangkap sesuatu di jari manis Fathiah. Mendadak ada sesuatu yang mencabiknya seperti sembilu pedang yang menghunus hingga ke ulu hati.
"Dia Satria yang kamu....." ucapan Adya menggantung seperti menebak.
Fathiah terdiam sejenak lalu mengangguk pelan. Arah pandangnya meneliti kearah Satria yang berjalan keluar dari café.
"Sepertinya dia juga punya perasaan yang sama ya ke kamu" tebakan Adya diam-diam membuat Fathiah meringis dalam hati.
Mempunyai perasaan yang sama? Yang benar saja, bertahun-tahun ia menunggu pria itu tapi tidak ada kejelasannya. Bahkan tak jarang ia menduakan sang pencipta karna pria itu. Justru ia mendapatkan kekecewaan ketika mengetahui Satria menjalani hubungan yang tidak halal dengan perempuan yang Fathiah pun tidak mengenalinya. Tapi itu dulu, sebelum ia mengenal Sunnah. Tapi tetap saja, kadang perasaan itu masih terbawa hingga kini. Apalagi Satria yang tidak semanhaj dengannya, sungguh ia tidak ingin menambah PR lagi.
Sekarang Fathiah sadar, Allah cemburu dan Allah tau mana yang terbaik buat dirinya. Bisa jadi pria yang datang kerumahnya 2 bulan lalu jauh lebih baik.
"Pekan depan Fathiah sudah akan menikah, mbak" ujar Fathiah berusaha tegar. Ia memberikan undangan pernikahannya.
"Wah ternyata kabar baik. Barakallahu ya sayang" Adya meraih undangan itu dan membukanya saat itu juga. "Orang mana?" maksud Adya adalah calon suami Fathiah.
"Aceh mbak, tapi udah lama tinggal di Jakarta"
"Nanti bakal ikut suami ke Jakarta dong?"
Fathiah hanya menanggapi dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADA PELANGI DI UJUNG WAKTU
SpiritualAku bukanlah Khadijah binti Khuwailid , tapi aku belajar setia darinya Aku bukanlah Aisyah binti Abu Bakr Shiddiq , tapi aku belajar ikhlas darinya Aku bukanlah Fatimah binti Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam, tapi aku belajar tabah darinya Aku b...