"Gea, Geana sayang, bangun ini udah siang kamu gak sekolah?"
"Gea kamu sakit?"
"Astaga badan kamu panas sayang!"
Gue menggulingkan badan ke kanan. Memalingkan tubuh ke arah lain dari bunda saat gue merasa punggung tangannya menyentuh kening gue.
"Hmmm... Gea lemes... bun.."
"Yaudah, bangun dulu sayang, kamu mandi pake air anget aja, bunda bakal ke sekolah kamu untuk ngasih tau kalo kamu sakit." Gue mengangguk kecil.
Merasa bunda udah keluar, gue mulai melanjutkan tidur gue yang sebelumnya sempat tertunda. Tapi, entah kenapa tubuh dan pikiran gue rasanya susah banget untuk di ajak tidur lagi barang sebentar aja.
Merasa udah lelah mencoba, gue memutuskan untuk bangun aja. Itu lebih baik daripada gue tidur-tiduran gak jelas kek kebo walau lagi sakit. Tapi baru aja gue ngangkat kepala dan berusaha duduk, pening seketika menimpa kepala gue.
"Aahhh... shit..." gerutu gue yang langsung aja jatuh telungkup di kasur saking sakitnya.
Lima menit setelah itu gue merasa punggung gue tertimpa sesuatu yang empuk berkali-kali. Dengan berat kepala gue berbalik dan langsung menunjukkan muka datar gue ke Ollyn.
"Pergi..."
"Kakak, angun dah agi," kata Ollyn gak jelas, buat gue langsung gusar.
Gue maksain diri bangun, tanpa memperdulikan kepala yang sekarang rasanya udah kek ditimpa ribuan jarum. Gue tatap adik gue masih dengan tampang sebelumnya.
"Ollyn, sayang ku, cinta ku, sempak kuda ku, kakak pening banget nih, kamu main jauh-jauh sana, jangan ganggu," jelas gue panjang lebar dengan suara agak serak khas orang baru bangun.
Gak tau adek gue ngerti apa kagak, dia ngangguk-ngangguk aja dan langsung pergi. Setelah itu gue lanjut lagi berbaring di kasur. Baru aja gue bernapas lega setelah kepergian adek gue, gue merasa sesuatu menimpa-nimpa punggung gue lagi tapi kali ini bukan sesuatu yang empuk melainkan keras.
Gue mengeram keras saking kesalnya dan bangun menatap horor abang gue yang udah berkacak pinggang sambil megang sapu kasur. Mungkin itu benda yang dia pake buat mukul-mukul punggung gue?
"Apaan... sih bang?" Sungut gue.
"Bangun kutil onta, udah pagi ini. Lo gak sekolah?"
Gue berdecak, "Gea lagi sakit, abang gak liat?"
Dia diem. Tatapannya menilai, terlihat sedikit ragu dia ngomong, "emang lo bisa sakit?"
Gue sukses di buat melongo sama abang gue yang satu ini --yah walau dia memang satu-satunya abang gue sih--. Memangnya dia pikir gue ini apaan gak bisa sakit? Robot?
"Bisalah abang ku... sayang, Gea... juga manusia... kali," kata gue agak lemes.
"Hmmm, pantesan bunda nyuruh gue buat bikin air anget. Ternyata karena lo sakit," katanya lalu tertawa. Apanya yang lucu coba?
"Tidur aja terus lo ye, gue mau ke Mall dulu bareng Yukie. Bye," katanya lalu pergi masih sambil tertawa terbahak-bahak.
Gue pingin teriak saking keselnya sama Bang Nico. Jahanam bener jadi abang. Adiknya lagi sakit gini, bukannya dia jaga kek, apa kek malah seneng-seneng di luar.
Untung sayang ya, kalo kagak tauk lah gimana nasib tuh dugong.
"WOI BOCAH, BANGUN CEPET, AIR ANGET LO DAH SIAP!!" Toa abang gue membahana dari luar.
Berkali-kali gue menggumamkan 'untung sayang' dalam hati dan segera bangkit untuk mandi. Harap-harap air yang dia bilang 'siap' itu air anget beneran, bukan air panas yang otw anget tanpa campuran air dingin.
🛀🛀🛀
"Ge, lo beneran sakit?"
"Iya."
"Gue gak percaya lo sakit, Ge. Memangnya lo bisa sakit?"
Mendengar kalimat terakhir yang sudah gue denger dua kali dalam satu hari pada dua orang yang berbeda membuat gue menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
Kali ini gue lagi telponan sama Leyana --ya, walau kadang yang ngomong campur-campur sama Nicella dan Ranila--. Awalnya gue sempat berpikir kalo mereka nelpon saat jam pelajaran dan maunya gue gak angkat, tapi setelah ngeliat jam di telpon gue menunjukkan pukul 9.10 barulah gue inget kalo jam segitu sekolah lagi jam istirahat.
"Lo pikir gue apa?"
"Manusia."
"Nah itu tau. Manusia bisa sakit gak?" Tanya gue lagi.
"Bisa lah," kali ini suara Ranila yang terdengar.
"Nah pinter. Udahlah gue mau istirahat lagi."
"Eh, jangan di tutup dulu. Temenin kita teleponan, gabut nih. Eh, btw lo sakit apa sih?"
"Gue sakit kepala, agak demam dikit, sama tenggorokan juga agak radang."
"Kalo gitu kenapa lo telponan?!" Suara seseorang terdengar marah.
"Lah, kan kalian yang duluan yang nelpon."
"Ngapain lo angkat?" gue mengernyit. Baru aja gue mau bales ngomong, sambungan telepon terputus secara sepihak. Pastinya bukan gue yang mutusin.
Gue gak ambil pusing sama "kenapa mereka mutusin sambungan telepon", yang gue pikirin adalah suara orang yang ngomong terakhir itu.
Gue tau itu bukan suara Leyana, Nicella, apalagi Ranila. Suara mereka gak berat seperti yang gue denger. Tapi, gue gak inget pernah denger suara orang yang ada di telpon itu.
Gak mau kepala gue semakin pening memikirkan itu, gue memilih untuk nanya aja besok kalo ketemu sama mereka.
Gue memutuskan untuk menarik selimut dan tidur, berusaha gak peduli dengan suara siapa pun itu.
Lebih tepatnya, gak tertarik.
From Gea
For Calvin***
Akhirnya bisa nulis pendek-pendek lagi.
Yey🙌🎉🎊
839 words....Part kali ini keknya gak penting-penting amat ya? Hehehe... gak apa-apa lah yaw, yang penting apdet
Jangan lupa vote n comment nya ya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Fanatic
Teen Fiction[Judul sebelumnya: Curahan Hati Gea.] *** Nama gue Geana Patricia Gunawan. Panggil aja Gea atau cinta juga boleh. Cewek 17 tahun biasa, yang hobi nyempil di sela-sela tersempit kantin demi membeli sebuah keripik buah yang selalu ludes saat jam istir...