Aku melangkahkan kaki dengan cepat. Sesekali mataku melirik jam tangan hitam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Aku sudah terlambat 20 menit dari waktu yang telah ditentukan. Ini semua karena konsultasi dengan dosenku.
Yah, sebenarnya bukan masalah konsultasinya yang 'ngaret'. Keterlambatanku dalam memenuhi janji disebabkan karena diakhir konsul, dosenku malah dengan bangganya menceritakan kisah masa lalunya yang—menurutnya—luar biasa. Dosenku yang terlalu ramah itu merupakan satu dari sekian banyak orang yang suka bercerita, apa saja. Ia mengisahkan bahwa seusiaku, ia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan. Ia memang pekerja keras sejak kecil. Ayahnya mendidik ia dengan tegas sehingga ia terbiasa mandiri. Bahkan ia sudah merantau diusianya yang beranjak remaja. Entah apakah kisahnya benar-benar nyata atau sudah dibumbui—bukan maksudku berprasangka buruk, yang jelas hal itu membuatku terlambat dari janji yang telah kubuat.
Setelah menyeberang jalan, aku segera memasuki sebuah kafe. Di atasnya tertulis 'Blue Sky Café'. Tempat inilah yang menjadi titik pertemuan antara aku dan orang itu. Kafe ini merupakan kafe yang terkenal di kota ini, terutama dikalangan anak muda karena selain tempatnya strategis dan tampilan luarnya yang menarik, bagian interior dan pelayanannya pun patut diacungi jempol. Apalagi harganya, sesuai dengan menu. Aku beberapa kali menghabiskan waktuku di sini, entah itu untuk mengerjakan tugas kuliah atau sekadar berkumpul bersama teman-teman.
Aku mendorong pintu kafe. Pukul sebelas siang, kafe belum terlalu ramai. Aku sudah tahu jam-jam berapa saja kafe ini ramai sehingga aku sengaja memilih saat ini untuk bertemu dengan orang itu.
Sambil berjalan masuk, mataku menatap sekitar, mencari tempat di mana orang itu duduk. Ketika mataku beradu pandang dengan kasir kafe—yang merupakan teman kuliahku, aku mengangguk sekilas. Ia hanya tersenyum.
Kembali kupandang sekitar. Meskipun belum 'jam ramai', namun beberapa tempat duduk di dalam kafe sudah terisi oleh kelompok-kelompok anak muda yang asyik mengobrol. Sudah pasti orang yang berjanji denganku duduk sendirian.
Anehnya aku tidak menemukan seorang pun yang duduk sendirian di sini. Alisku berkerut bingung. Apa dia belum datang? Kurogoh ponsel dari tas kecil yang tersampir dibahu kananku. Aku melihat layar ponsel. Tidak ada pesan atau miss call dari orang itu. Aku bertanya-tanya. Jangan-jangan ia lupa dengan janji kami?
Kucari kontaknya diponselku. Aku segera meneleponnya. Terdengar nada sambung beberapa kali, sebelum akhirnya diangkat. Sebuah suara menyapa dari seberang.
"Halo?"
"Halo, Nay? Kamu di mana?" tanyaku langsung.
"Aku di toilet, Ja."
Aku menepuk dahi. Pantas saja aku tidak menemukannya.
"Aku udah di kafe, nih. Dekat pintu."
"Finally ... bentar, aku keluar dulu."
Aku tertawa kecil, lalu mematikan telepon dan memasukkannya kembali ke tas kecilku. Aku tak sabar lagi bertemu dengan orang itu. Sudah berapa tahun ya, sejak terakhir kali kami bertemu? Pertemuan terakhir kami adalah ketika aku berumur delapan belas. Kalau begitu, sudah enam tahun berlalu. Tak kusangka sudah selama itu.
Mataku segera beralih ke arah toilet perempuan. Dari sana, seorang gadis keluar dan langsung menatap ke arah pintu—ke arahku. Pandangan kami beradu. Senyum kami sama-sama mengembang. Kami saling mendekat dengan antusias. Hampir saja kami memekik kegirangan jika tidak ingat bahwa kami sedang berada di tempat umum. Kami berpelukan erat.
"Nayla! Aku kangen!"
"Aku juga, Ja! Ya Allah, Ja. Ja, aku kangen banget, sumpah."
Nayla melepas pelukannya dan menatapku seakan masih tak percaya. Aku juga menatapnya sambil tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...