10 - Lomba Pertama

61 2 3
                                    

Esok harinya, hari Rabu.

"Aku sudah selesai membuat teks-ku, Fajar."

Aku dan Fajar sedang berjalan menuju ruangan English Club.

"Benarkah? Bagus itu. Nanti kita akan langsung praktek," ucap Fajar.

"Serius?" tanyaku memastikan. Tapi aku sudah bisa menduganya sejak kemarin, karena lombanya adalah hari Sabtu ini.

Fajar mengangguk.

"Kamu bawa teks-mu, kan?"

Aku yang membawa sebuah buku catatan mengeluarkan dua halaman kertas yang dilipat dari selipan buku. Semalam aku langsung mencetaknya.

"Boleh kulihat?" pinta Fajar.

Aku menyerahkan teks-ku pada Fajar. Kami berhenti sejenak. Fajar membaca teks-ku hingga selesai.

"Bagus juga," puji Fajar sambil tersenyum. Ia menyerahkan teks kembali padaku.

"Makasih," ucapku. Kami kembali berjalan.

"Kamu sudah pernah lihat orang berpidato, kan?" tanya Fajar.

Aku mengangguk.

"Nah, berarti kamu tinggal melancarkan penampilanmu saja. Suaramu juga lantang, jadi sepertinya tak ada masalah."

Aku cengar-cengir, mengingat saat aku memanggil Fajar di kantin kemarin.

Tiba di ruangan klub, aku bertemu dengan banyak siswa. Ada beberapa teman sekelasku, juga banyak yang wajah-wajahnya tak kukenali. Pasti mereka teman seangkatanku atau adik kelas. Kulihat Mam Ai sedang berbicara dengan dua orang gadis.

"Teman-teman, mari kita buka dulu."

Fajar memandu. Yang lain segera mengambil tempat duduk, aku pun demikian. Aku tersenyum pada seorang gadis di sebelahku.

Setelah berdoa, Mam Ai mengambil alih klub.

"Jadi, karena Sabtu ini beberapa dari kalian mengikuti lomba, kita persiapan saja hari ini. Yang ikut Scrabble, segera cari tempat. Yang lain bisa ikut bantu. Lalu yang story telling dan speech, kita bergantian saja, ya. Sudah siap semua kan, teks-nya?"

"Sudah," jawab kami—para peserta lomba speech dan story telling. Mam Ai mengangguk.

"Ayo, langsung saja. Fajar, kamu mulai pertama."

Fajar segera maju ke depan. Aku fokus menatap Fajar. Ia mulai berpidato dengan gaya yang tenang. Isi pidatonya terdengar sangat menarik. Fajar bisa mengaitkan antara satu hal dengan hal lain, menjadikan teks-nya sebagai satu kesatuan yang utuh. Ia bisa memberikan perumpamaan yang unik namun sesuai dengan isi pidatonya. Opini dan argumennya terdengar masuk akal, ekspresi dan gesture tubuhnya sesuai dengan penyampaiannya. Aku sampai berpikir kalau aku jurinya, dia sudah pasti kujadikan juara satu. Pronunciation-nya bagus, dan ia berbicara dengan lancar seakan ia berbicara dalam bahasa indonesia atau bahasa bengkulu.

Aku tersenyum sambil bertepuk tangan sesaat setelah Fajar menutup pidatonya. Yang lain tak kalah antusias bertepuk tangan. Beberapa orang memasang ekspresi seakan berkata 'Fajar memang bagus, tak perlu diragukan lagi'.

"Nice, Fajar." Aku memuji Fajar setelah ia duduk di belakangku. "Kamu sepertinya sudah paham sekali dengan isi pidatomu, sampai-sampai kamu tak seperti menghafal teks."

Fajar terkekeh mendengarku.

"Itu teks yang bakal kamu bawa untuk lomba?" tanyaku.

Fajar mengangguk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sehari Di SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang