Selesai upacara, semua murid kembali ke kelasnya masing-masing.
Aku berjalan bersebelahan dengan Nayla. Sebelum ke lapangan tadi, kami sempat mengobrol. Sebenarnya, lebih banyak Nayla yang bertanya tentangku. Sepertinya ia penasaran sekali dengan murid pindahan dari Amerika ini—yang tak lain adalah aku. Sesekali Nayla mencoba untuk menerjemahkan pertanyaannya ke bahasa Inggris, namun beberapa kalimatnya justru membuatku semakin bingung.
"Jadi ayahmu bule?" tanya Nayla.
Aku mengangguk.
"Ayahku orang Amerika, Ibuku orang Bengkulu."
"Wah, blasteran. Pantas aja matamu biru, hidungmu mancung, tapi rambutmu hitam legam. Cantik," puji Nayla.
Aku tersenyum kecil sambil berucap terima kasih.
"Hati-hati, lho. Nanti banyak yang mengincarmu."
"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu kan cantik. Biasanya anak laki-laki akan mendekati gadis sepertimu. Apalagi kamu bule, pindahan dari Amerika. Bisa jadi nggak cuma anak kelas kita yang mengincarmu, tapi juga kakak kelas atau adik kelas."
Mendengarnya, aku menjadi sedikit gugup.
"Tapi tenang, mereka nggak akan berani ganggu kamu kalau ada aku."
Nayla terkekeh. Perasaan gugup yang baru saja menghampiriku seakan menguap begitu saja melihat ekspresi Nayla. Aku ikut tertawa. Nayla baik sekali.
"Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana?"
"Eh, ng ..." aku berusaha mengingat apa nama daerah rumah Nenekku. "Ling-Lingkar ... Barat?"
"Oh ya? Rumahku juga di sana! Jangan-jangan kita tetanggaan?" untuk yang kesekian kalinya, Nayla terlihat antusias.
"Di jalan apa tepatnya?" tanya Nayla lagi.
"Eh, aku belum tahu," jawabku. Nayla mengangguk paham.
"Oh iya, Nayla." Kali ini giliranku bertanya. "Tempat dudukku tadi kosong, kan?"
Nayla mengangguk.
"Sepertinya tempat dudukmu diletakkan hari Minggu kemarin. Soalnya sebelum itu, di belakang tempatku tidak ada meja dan kursi."
Kami tiba di kelas. Kelas lebih ramai dibanding tadi pagi. Semakin banyak mata yang memandang ke arahku, penasaran. Aku pura-pura tak menyadari, berjalan di belakang Nayla menuju tempat dudukku.
"Eh, Nay. Kenalin, dong."
Seorang lelaki yang duduk di atas meja yang baru saja kami lewati menegur Nayla. Matanya melirik ke arahku.
"Kenalan dewek, yak, (Kenalan sendiri dong)" balas Nayla tak acuh. Aku duduk di tempat dudukku, menyusul Nayla yang sudah duduk dikursinya.
"Ish, pelit." Lelaki yang memanggil Nayla merengut. Nayla mengabaikannya.
"Siapa nama kamu?" lelaki lain berseru ke arahku.
"Eh, Senja." Aku menjawab, setengah kaget karena intonasi suaranya yang tinggi, dan pertanyaannya yang tiba-tiba.
"Woi, kau macam orang nak ngajak belago, (kamu kayak mau ngajak berantem)" ujar Nayla sambil tertawa. Aku hanya bisa tersenyum bingung menatap teman-temanku yang berbicara dengan bahasa yang belum kupahami.
Tak lama kemudian, seorang guru memasuki kelas. Dia adalah Bu Wiwid, wali kelasku. Teman-teman segera duduk di tempatnya masing-masing. Seorang lelaki memimpin kelas untuk berdoa. Sepertinya dia ketua kelas. Dia juga orang yang tadi pagi memanggil kami untuk segera ke lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...