Bel pulang sekolah berbunyi.
Aku dan Nayla beranjak keluar kelas setelah Fajar memimpin kelas untuk berdoa, tanda kelas usai. Hari ini, aku hampir mengenal seluruh teman-teman sekelas. Meski pun ternyata ada beberapa orang yang tertarik untuk bertanya-tanya padaku, namun lebih banyak yang hanya antusias ketika aku memperkenalkan diri di kelas Bu Wiwid tadi pagi. Kekhawatiranku terlalu berlebihan. Aku tak terlalu menjadi pusat perhatian di kelas.
"Kamu pulang naik apa, Ja?" tanya Nayla.
"Aku bareng Kak Riri, sepupuku. Dia kelas 12," jawabku.
"Riri? Riana Septi Pratama?"
"Eh," aku tertegun. "Aku belum menanyakan nama lengkapnya."
Nayla menepuk dahi.
"Dia kan sepupumu, Ja."
"Aku baru bertemu dengannya seminggu yang lalu, Nayla. Wajar saja aku belum terlalu mengenalnya." Aku membela diri.
"Tapi setidaknya kamu bisa menanyakan perihal sepupumu pada Ibumu, kan?" Nayla membalas.
"Sudah, Nayla. Tapi Ibu bilang biar lebih enak aku kenalan langsung dengannya. Tapi Kak Riri baik sekali," ujarku sambil tersenyum, mengingat kembali kebaikan-kebaikan Kak Riri padaku.
"Kalau sepupumu adalah orang yang kumaksud, tentu saja dia baik. Maksudku, orang yang kumaksud memang terkenal baik. Dia salah satu anggota OSIS," jelas Nayla. Aku menganggut-anggut. Nanti, aku akan segera menanyakan nama lengkap Kak Riri.
"Kamu sendiri, pulang naik apa?" tanyaku pada Nayla.
"Hari ini, aku bareng Fajar."
"Emang biasanya kamu naik apa?"
"Naik motor. Tapi ban motorku pecah, olinya juga belum diganti. Jadi motorku lagi di bengkel," jawab Nayla.
"Memang kamu sudah punya SIM?"
Nayla terkekeh sambil menggeleng. "Banyak pelajar sepertiku, Ja. Biasa saja. Asal punya STNK, pakai helm, spion dua-duanya ada. Jangan ugal-ugalan saja bawa motornya. Yah, walau pun sebenarnya kami belum boleh mengendarai motor. Tapi nggak semua orang bisa diantar-jemput atau naik angkot."
Aku dan Nayla masih mengobrol hingga tiba di parkiran motor. Aku segera melambaikan tangan ke arah Nayla. Kak Riri sudah menunggu di dekat motornya.
"Lama nunggunya, Kak?" tanyaku setibanya di dekat Kak Riri. Kak Riri menyerahkan helm padaku.
"Nggak juga. Yuk."
Aku segera naik ke motor, dan Kak Riri menjalankan motornya keluar dari pekarangan sekolah. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore.
"By the way, nama lengkap Kak Riri siapa?" tanyaku ditengah perjalanan.
"Riana Septi Pratama," jawab Kak Riri. "Kenapa, Ja?"
"Eh, nggak. Ada temanku yang mengenal Kakak."
"Oh ya? Siapa?"
"Nayla."
"Nayla siapa?"
Aku tertegun. Baru kusadari bahwa aku belum mengetahui nama lengkap Nayla. Gadis itu hanya memperkenalkan nama panggilannya. Aku menepuk dahi.
"Aku lupa nanya, Kak." Aku terkekeh.
"Eh, kamu kelas IPA F kan? Kayaknya aku tau Nayla yang kamu maksud," kata Kak Riri beberapa saat kemudian. "Nayla IPA F. Ya, ya, si Adinda Nayla. Aku kakak pembinanya waktu acara MOS."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...