Hari pertama sekolah pun tiba.
Om Win dan Tante, selain sudah mengurus sekolahku dan membelikanku peralatan sekolah, bahkan juga sudah menyiapkan seragam-seragamku. Aku memakai seragam sekolahku untuk hari Senin, yaitu berupa baju berwarna putih, dasi dan rok abu-abu. Kak Riri sudah memberitahu jadwal seragam yang harus kukenakan tiap harinya. Tak lupa Kak Riri menyuruhku membawa topi yang disebutnya topi upacara, karena setiap Senin, sekolah-sekolah di Indonesia selalu melakukan upacara pagi.
"Kalau atribut tidak lengkap, kamu akan berbaris dibarisan tersendiri—tidak dibarisan kelasmu. Dan itu berarti kamu akan dihukum."
Begitu penjelasan Kak Riri. Aku baru tahu bahwa sekolah di Indonesia harus memakai seragam dan atribut khusus. Kalau di Amerika, tentu saja kami bebas mengenakan pakaian apa pun, asal tidak melebihi batas kesopanan.
Aku menyandang tas ranselku. Isinya sudah lengkap: buku-buku pelajaran hari ini, beserta buku catatan dan alat tulisnya. Aku berjalan keluar kamar dan segera duduk di kursi meja makan. Tasku kuletakkan di sebelah kaki kursiku. Ibu sedang asyik memasak bersama Nenek di dapur. Kak Riri sudah ada di hadapanku. Semalam ia menginap di rumah Nenek, agar hari ini kami dapat berangkat bersama.
"Pagi, Ja." Sapa Kak Riri.
"Pagi, Kak." Balasku sambil tersenyum.
Kak Riri menyodorkan segelas susu putih. Aku menerimanya sambil mengucap terima kasih. Aku segera meneguknya, bertepatan dengan Ibu yang datang dengan semangkuk besar nasi goreng.
"Sarapan siap."
Aku membalik piring dihadapanku, dan meletakkan sendok di atasnya. Kak Riri menyendok nasi yang sudah diletakkan Ibu dimeja makan terlebih dahulu, kemudian baru giliranku. Kami melahap nasi goreng dengan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Kak Riri bilang, jam masuk sekolah kami adalah pukul tujuh lewat sepuluh. Tak kusangka anak-anak Indonesia selalu berangkat sepagi ini ke sekolah. Aku harus cepat menyesuaikan diri.
"Kita berangkat naik apa, Kak?" tanyaku seusai sarapan.
Aku memasukkan kotak bekalku ke dalam tas. Kak Riri meneguk segelas air, lalu berdiri.
"Naik motor."
Di Amerika, jarang sekali aku melihat anak sekolah menggunakan motor ke sekolah. Tapi di Indonesia, hal ini adalah hal yang wajar. Bahkan anak dibawah umur pun sudah ada yang menggunakan motor—dan itu tentu saja melanggar peraturan. Aku tak habis pikir, mengapa banyak anak yang mau menggunakan motor, padahal mereka belum memiliki Surat Izin Mengemudi? Kak Riri bilang, walau pun ada transporasi umum berupa angkutan kota, namun ada banyak alasan mengapa orang lebih suka mengendarai motor. Salah satunya karena badan motor yang kecil membuatnya bisa menyalip mobil dengan lihai sehingga bisa terbebas dari kemacetan. Selain itu karena harga motor yang murah membuat banyak orang mau membelinya.
"Ayo, Ja." Ajak Kak Riri.
Kami menyalami Nenek, Ibu dan Kakek yang sedang membaca koran di ruang tamu.
"Hati-hati bawa motornya, Ri," pesan Kakek.
Kak Riri mengangguk. Ia segera mengambil dua buah helm, dan salah satunya diserahkan padaku.
Kami berjalan keluar rumah setelah mengucap salam. Motor Kak Riri sudah terparkir di dekat pintu pagar, siap berangkat. Kakek sudah memanaskan mesin motornya, sehingga kami bisa langsung berangkat. Kami mengenakan helm masing-masing. Sementara Kak Riri menghidupkan motor, aku membuka pagar.
Kak Riri menjalankan motor keluar pagar. Aku menutup kembali pagar rumah, dan segera menaiki motor.
"Pegangan, Ja." Kata Kak Riri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...