Aku dan Nayla menghabiskan bekalku di taman—Nayla hari ini tidak membawa bekal, sehingga aku berbagi bekal dengannya. Untunglah Ibu selalu menyiapkan bekal yang lebih untukku, sehingga aku bisa berbagi bekalku dengan Nayla. Kami pun mengobrol tentang apa saja hingga bekalku habis—selain hal terkait Raisa.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk bungkam, tak bertanya apa pun terkait masalah Nayla dengan Raisa. Kalau Nayla mau, ia bisa bercerita padaku. Tapi sampai saat itu, aku tak perlu bertanya apa pun.
"Eh," aku menepuk dahi. "Botol minumku tinggal di kelas. Kuambil dulu, ya! Sekalian kuletakkan kotak bekalku."
"Cepat, ya."
Aku mengangguk. Aku pun berlari kecil menuju kelasku.
Di koridor, aku berpapasan dengan Fajar. Aku tersenyum ke arahnya. Fajar balas tersenyum. Sebelum berlalu, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Eh, Fajar!" aku berhenti dan berbalik ke arah Fajar yang refleks ikut berhenti. "Aku sudah catat nomor ponsel ibuku," kataku.
Fajar menatapku sementara aku merogoh saku rokku, kemudian mengeluarkan secarik kertas. Kuserahkan kertas itu pada Fajar.
"Itu nomornya."
Fajar melihat nomor ponsel ibuku yang tertera dikertas itu sekilas, lalu mengangguk.
"Oke, makasih."
"Makasih kembali."
Aku dan Fajar kembali berjalan, berlawanan arah. Malah aku mulai berlari kecil menuju kelas, tak mau membuat Nayla menunggu lama.
Tiba di kelas, Raisa dan teman-temannya masih di tempat yang sama, heboh membicarakan sesuatu. Mataku beradu pandang dengan Raisa. Cepat-cepat kualihkan pandangan.
"Hai, Senja!"
Sapaan Raisa membuatku menyesal kenapa sempat melirik Raisa. Aku menoleh dan tersenyum.
"Hai, Raisa."
"Mana temanmu?" tanya Raisa sambil celingukan.
"Nayla? Dia masih di taman," jawabku.
"Saran aja, sih. Mending kamu nggak usah terlalu dekat dengan Nayla. Dia orangnya egois, mau menang sendiri. Dari pada kamu terlanjur benci, mending dari sekarang jaga jarak dengannya. Cari teman baru."
Perkataan Raisa membuatku termangu. Apa maksudnya?
Mungkin Raisa menyadari ekspresi kebingunganku. Ia malah tertawa. Teman-temannya ikut tertawa.
"Biarin ajo, Sa. Mungkin nyo harus merasakan dulu cak mano rasonyo (kayak gimana rasanya) 'dikhianati' kawan sendiri." Salah seorang teman Raisa menyeletuk.
"Iyo. Udah nyo ngerasoi, baru nyo sadar. (setelah dia merasakannya, baru dia sadar)" Yang lain menimpali. Raisa menganggut-anggut setuju mendengarnya.
Aku hanya bisa memasang alis berkerut mendengar ucapan mereka. Apa sih, yang mereka bicarakan?
Aku segera meletakkan kotak bekalku, dan mengambil botol minumku. Tanpa ba-bi-bu, aku kembali ke taman. Nayla sudah menunggu lama.
***
"Maaf lama, Nayla."
Nayla menoleh.
"Kamu ngapain, Ja?" tanya Nayla. Aku diam, menimbang-nimbang sejenak. Sesaat kemudian, aku memutuskan untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Sebenarnya ... ada apa, Nayla?"
Pada akhirnya, aku bertanya. Nayla diam setelah mendengarkan ceritaku. Ekspresinya datar. Matanya seakan menerawang ke masa lalu.
"Waktu itu kami mendapat tugas Fisika." Nayla mulai bercerita. "Pak Irwan, guru Fisika kita itu guru paling galak sesekolah. Kamu belum bertemu dengannya, tapi kusarankan jangan macam-macam dan jadi anak baik aja selama pelajarannya."
"Ini terjadi beberapa minggu setelah masa orientasi berakhir. Pak Irwan kalau ngasih tugas nggak tanggung-tanggung, Ja. Kalau nggak selesai bakal kena hukuman. Kalau nilai rendah juga kena hukuman. Intinya kita harus berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik."
"Jadi waktu itu, kami dikasih tugas menjawab soal evaluasi, dari pilihan ganda sampai essay. Fisika kita kan dihari Selasa dan Rabu. Tugas dikasih hari Selasa, disuruh kumpul besoknya. Mau protes juga percuma, nanti tugasnya malah ditambah. Akhirnya kami pasrah menerima tugas itu."
"Aku seumur-umur selalu berusaha dengan kemampuan sendiri, Ja. Kukerjakan tugasku sampai begadang. Kucari jawabannya dari buku dan internet. Tiba-tiba besok paginya, waktu aku tiba di sekolah, Raisa datang dan minta mau nyalin jawabanku."
"Siapa sih, yang nggak kesal? Kita udah berusaha, dianya malah enak-enak nyalin dan dapat nilai yang sama dengan hasil usaha kita. Aku pura-pura aja bilang belum selesai. Memang salahku sih, berbohong. Seharusnya waktu itu aku tegas aja nolak dia. Tapi aku terlanjur kesal, mulutku terlanjur bilang aku belum selesai, sehingga Raisa yang udah kalang-kabut memaksa melihat jawabanku, berapa pun jadinya. Aku tetap bersikukuh sampai bel bunyi. Fisika kan pelajaran pertama, tuh. Akhirnya Raisa pasrah dan duduk di tempatnya. Kamu bisa menebak yang terjadi selanjutnya, Ja."
Aku membayangkan Pak Irwan menyuruh semua murid mengumpulkan tugas, dan Nayla menjadi salah satu murid yang maju. Raisa pasti sudah kesal karena tidak dapat membuat tugas. Ditambah jika ia tahu ternyata Nayla sudah selesai. Ia pasti akan dendam, sampai saat ini.
Akhirnya aku mengerti permasalahannya. Aku dan Nayla sama-sama terdiam. Aku bingung harus merespon seperti apa. Nayla memang salah karena berbohong—dan ia sudah menyesal karenanya, tapi Raisa yang seenaknya meminta jawaban juga salah. Kenapa dia tidak mengerjakan tugasnya dan malah bergantung pada orang lain?
Sikap seperti Raisa itulah yang membuat seseorang menjadi pemalas. Kalau sejak kelas sepuluh saja ia sudah seperti itu, bagaimana jika ia sudah kuliah nanti? Sudah kerja nanti? Apa yang akan terjadi jika Indonesia memiliki generasi muda berkarakter seperti itu?
Aku menepuk bahu Nayla. Kutatap matanya lekat-lekat, seakan aku memahami apa yang dirasakannya.
"Nayla, aku ... bukannya mau sok bijak. Tapi daripada kamu sibuk dengan orang yang membencimu, lebih baik fokus dengan orang-orang yang menyayangimu. Sudah saatnya kamu melupakan masalahmu dengan Raisa. Biar aja dia sibuk benci kamu, tapi kamu tak usah acuhkan dia. Kejahatan memang sebaiknya dibalas dengan kebaikan. Nanti si Raisa pasti capek sendiri."
Nayla diam, mencerna kata-kataku. Aku tersenyum kecil, berharap perkataanku tak menyinggungnya.
Sesaat kemudian, Nayla tersenyum.
"Benar juga. Kalau dia ejek aku, terus aku balas dengan senyum, pasti dia yang bakal kesal, ya? Kenapa nggak aku lakukan ini dari dulu!" Nayla tertawa. "Ja, makasih banget solusinya. Tapi kamu harus bantu aku biar aku nggak kebawa emosi sama sikap Raisa, oke?"
Aku mengacungkan jempolku. Lagi-lagi aku terlalu berlebihan. Semua perkiraan burukku tak terjadi. Sejak saat itu, aku dan Nayla justru menjadi semakin dekat. Dan Raisa, setelah Nayla menerapkan perkataanku, lama-kelamaan menjadi tak peduli dengan Nayla. Ia tak lagi menyindir Nayla, namun masih tetap enggan menegur Nayla. Setidaknya perselisihan di antara mereka tak bertambah parah, bahkan sepertinya hampir mendekati akhir.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...